IM.com – Sebanyak 210 ton sampah dalam 8 kontainer dari Australia menumpuk di terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Ratusan ton sampah bercampur limbah berbahaya (B3) itu segera dikembalikan ke negara pengekspor sesuai instruksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Berbagai macam sampah rumah tangga seperti kaleng bekas, botol plastik, kemasan oli bekas, hingga popok bayi itu dibuang ke Jatim oleh perusahaan Australia Oceanic Multitrading. Mirisnya, perusahaan perusahaan lokal asal Jatim, PT MDI, punya andil sebagai pengimpor sampah bercampur limbah B3 yang dimuat dari Pelabuhan Brisbane, Australia tersebut.
“Delapan peti kemas yang disita di kota Surabaya seharusnya hanya berisi kertas bekas, tetapi pihak berwenang juga menemukan bahan berbahaya dan sampah rumah tangga termasuk botol plastik dan kemasan, popok bekas, sampah dan kaleng elektronik,” kata juru bicara badan bea cukai Jawa Timur seperti dilansir AFP, Selasa kemarin (9/7/2019).
Menurut bea cukai Jatim, kementerian lingkungan hidup Indonesia merekomendasikan agar limbah itu dikembalikan ke negara asal. Pengembalian itu untuk melindungi lingkungan dan masyarakat, khususnya di Jawa Timur, dari beragam potensi pencemaran limbah B3.
Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar pada Senin (7/7/2019) meminta agar sampah tersebut dikirim kembali ke Australia.
“Langkah ini dilakulan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan Indonesia, terutama Jawa Timur dari sampah B3,” ujarnya, merujuk pada material berbahaya dan beracun yang terdapat dalam sampah tersebut.
Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya kini menjadi destinasi sampah dalam jumlah besar dari negara maju seperti Australia, Amerika Serikat dan Inggris. Ini menyusul kebiajkan China melarang impor sampah dari negara-negara tersebut.
Pada kurun 2016-2018, pertumbuhan impor sampah plastik di ASEAN mencapai 171 persen, dari 836.529 ton menjadi 2.265.962 ton. Itu setara dengan sekitar 423.544 kontainer pengiriman seukuran 20 kaki.
Indonesia pun mengalami kenaikan signifikan sebanyak 123 persen. Kenaikan dari dari USD 45,87 juta AS pada 2017 menjadi USD 102,4 juta AS pada 2018. Sementara menurut data BPS, volume sampah kertas dan plastik impor naik 35 persen hingga 2018.
Kini, Indonesia dan negara Asia Tenggara lain kerepotan menghadapi masalah pengelolaannya (sampah plastik dan limbah B3). Sejumlah wilayah di Jatim antara lain Kabupaten Mojokerto menjadi ‘tempat sampah’ yang paling banyak menimbun sampah impor yang tak terkelola dengan baik. (Baca: Per Hari, 75 Ton Sampah Plastik Impor Dibuang ke Desa Bangun, 60 Persen Tak Bisa Didaur Ulang).
Sementara regulasi terkait impor sampah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016 terkesan belum tegas. Pun, pengawasannya masih setengah hati. Maka, kebijakan dadakan seperti pengembalian sampah ke negara eksportir dipilih sebagai jalan terbaik di tengah celah-celah tersebut.
Kabarnya, Permendag 31/2016 tersebut akan segera direvisi demi mendukung niat pemerintah untuk menghentikan segala kegiatan impor limbah plastik. Regulasi itu akan diperkuat dengan aturan dari Kementerian LHK untuk melarang sampah masuk ke Indonesia. (im)