IM.com – Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak nota keberatan (eksepsi) terdakwa kasus penerimaan gratifikasi proyek di Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto, Zainal Abidin. Jaksa KPK menyatakan, dalil keberatan terdakwa atas nota dakwaan tidak berdasar fakta formil maupun materiil sehingga harus ditolak.
Menurut Jaksa KPK Arif Suhermanto, nota dakwaan yang disusun JPU telah memenuhi persyaratan baik formil maupun materil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHP. Selain itu, materi eksepsi yang disampaikan penasehat hukum terdakwa sudah memasuki ranah pembuktian.
“Materi eksepsi yang dibacakan penasehat hukum tidak termasuk dalam ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHP. Dengan demikian segala dalil dalam eksepsi terdakwa harus ditolak,” ujar Jaksa KPK Arif Suhermanto dalam sidang lanjutan perkara gratifikasi proyek Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (11/6/2020).
Jaksa Arif Suhermanto merupakan jaksa penuntut dalam perkara suap perizinan menara telekomunikasi yang telah membuat mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) divonis 8 tahun penjara. Dalam kasus penerimaan gratifikasi Zaenal Abidin, KPK juga mengaitkannya dengan MKP.
Sangkutan kasus yang menjerat Zaenal Abidin dengan mantan atasannya itu terbaca dari dakwaan jaksa pada sidang perdana, Kamis (4/6/2020) lalu. Dalam dakwaannya, jaksa KPK menyebut sosok Hendarwan Maruszama, kontraktor yang melobi MKP melalui teman dekatnya, Eryck Armando Talla.
Dari lobi Eryk inilah, Hendrawan yang juga dikenal anak mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung (Kejagung) itu berhasil mendapatkan sejumlah proyek bernilai miliaran rupiah. Zaenal menyerahkan enam proyek senilai total Rp 42 miliar ke Hendarwan Maruszama setelah mendapat arahan dan restu dari MKP. Beberapa proyek di antaranya dikerjakan Hendrawan bersama dengan Eryck Armando Talla.
Masih berdasar nota dakwaan jaksa KPK nomor 36/TUT.01.04/24/05/2020, dari total proyek Rp 42 miliar tersebut, Hendrawan menyetor fee sebesar 17 persen atau Rp 4 miliar kepada Zaenal Abidin. Fee tersebut masuk kantong pribadi Zaenal sebesar Rp 1,2 miliar, sisanya Rp 2,750 miliar disetor ke MKP.
Rincian proses lobi hingga penyetoran fee terkait dengan MKP dan dua kontraktor itulah yang menuai keberatan ZAenal Abidin melalui penasehat hukumnya, Ben D Hadjon pada sidang Senin lalu (8/6/2020). Dalam eksepsinya, penasehat hukum menilai dakwaan jaksa KPK terkesan kabur.
“Jaksa mencampur adukan tindakan Mustofa Kamal Pasa (MKP) dengan terdakwa,” kata Ben membacakan nota keberatan pada sidang sebelumnya.
Ben melanjutkan dakwaan jaksa seharusnya tidak kabur dan disertai alat bukti yang jelas. Dengan demikian, lanjutnya, penasehat hukum dan terdakwa bisa melakukan klarifikasi dan kroscek.
“Seperti apa dan alat bukti itu harus dipaparkan dengan jelas agar kami bisa mengklarifikasinya,” ujarnya.
Sidang berikutnya akan digelar Kamis pekan depan (18/6/2020) dengan Agenda Putusan Sela dari majelis hakim. (im)