IM.com – Sorotan terkait dampak buruk sampah plastik seperti yang ditimbun di Desa Bangun Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat seolah tak ada habisnya. Baru-baru ini, studi dari badan lingkungan, International Pollutants Elimination Network (IPEN) mengungkap fakta munculnya dioksin (senyawa kimia berbahaya) dalam sampel telur ayam yang timbul dari hasil pembakaran sampah plastik di Desa Bangun.
Parahnya lagi, kandungan dioksin yang ditemukan di sampel telur ayam kampung di Desa Bangun 70 kali lebih tinggi dari standar keselamatan yang ditetapkan oleh badan keselamatan pangan Eropa, European Food Safety Authority (EFSA).
Selain Desa Bangun, kandungan dioksin pada telur ayam akibat pembakaran sampah plastik juga ada di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo.
Peneliti dari IPEN mengumpulkan telur dari kandang ayam yang dimiliki warga di desa Bangun dan Tropodo. Menurut para peneliti, riset pada kandungan telur merupakan cara terbaik untuk memeriksa apakah bahan kimia yang dikenal dengan persistent organic pollutants (POPs) termasuk dioksin, masuk ke rantai makanan.
Hasil uji laboratorium menunjukkan, kandungan dioksin di satu telur yang ada di Desa Bangun dan Tropodo merupakan kedua yang tertinggi di Asia. Kadarnya hanya sedikit di bawah paparan bahan senjata kimia, agen oranye di Vietnam. Senyawa ini digunakan oleh Amerika Serikat saat perang Vietnam pada tahun 1960-an.
Telur ayam yang mengandung dioksin dapat menyebabkan kanker, merusak sistem kekebalan tubuh dan pertumbuhan jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Kandungan bahan kimia terparah tercatat di dekat pabrik-pabrik tahu yang membakar plastik untuk bahan bakar di Desa Tropodo. Selain itu, IPEN juga mendapati bahwa telur-telur dari desa tersebut mengandung senyawa kimia beracun lainnya bernama SCCP dan PBDE, yang juga ditemukan dalam plastik.
Pakar mengatakan mengonsumsi telur terkontaminasi dioksin dalam jangka pendek tidak akan mengganggu kesehatan, namun dalam jangka panjang bisa berbahaya.
“Hasil riset kami ini paling mengejutkan dari semua riset yang pernah kita lakukan. Apalagi di Indonesia, kami tidak pernah mendapati hasil riset seperti ini sebelumnya,” kata Yuyun Ismawati, aktivis lingkungan IPEN yang mengadakan riset ini.
Peneliti IPEN memusatkan studinya di desa-desa yang berada di dekat sebuah pabrik kertas di Mojokerto. Sebagai catatan, pabrik kertas di Mojokerto mengimpor sekitar 40% sampah kertas untuk produksinya.
Catatan Ecoton (LSM pemerhati lingkungan), ada 12 pabrik kertas di Jatim yang kerap mendatangkan sampah (kertas bercampur plastik) dari negara-negara maju sebagai bahan baku bekas. (Baca: Setahun, 68 Ribu Ton Sampah dari Inggris Dibuang ke Mojokerto).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor sampah plastik Indonesia naik 141% tahun lalu menjadi 283.000 ton, terutama dari Australia, Kanada, Irlandia, Italia, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat. Angka impor ini meningkat setelah China menutup negaranya dari impor sampah pada awal tahun 2017.
Sampah-sampah plastik yang dibakar itu berasal dari negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Australia. Sampah plastik ini awalnya untuk didaur ulang untuk produksi industri kertas yang mengimpor sampah dari negara-negara barat. (Baca: Per Hari, 75 Ton Sampah Plastik Impor Dibuang ke Desa Bangun, 60 Persen Tak Bisa Didaur Ulang).
Namun dalam proses produksi, mayoritas industri kertas tidak memanfaatkan bahan plastik yang banyak disusupkan di antara sampah kertas yang mereka impor dan memilih menimbunnya atau menjualnya ke distributor sampah.
Alhasil, berton-ton limbah sampah timbunan pabrik kertas itu menggunung di tempat penimbungan yang ada di lingkungan permukiman warga seperti di Desa bangun dan Tropodo. (Baca: Pabrik Kertas di Mojokerto Gunakan Bahan Baku Sampah Impor, tapi Ipal Buruk).
Pemerintah Indonesia sendiri gencar mengembalikan sampah plastik ilegal ke sejumlah negara asal, termasuk Australia, Kanada, Italia, Inggris dan Amerika Serikat. (Baca: Jumlah Sampah Impor Dikembalikan Indonesia Jauh di Bawah Malaysia dan Filipina).
Meski mendatangkan berkah bagi warga di permukiman yang menjadi tempat penimbunan sampah pabrik kertas, namun dampak lingkungan dan kesehatan juga patut menjadi perhatian pemerintah.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuian Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Agus Haryono, mengatakan pemerintah harus membangun infrastruktur yang tepat untuk menguji dan memonitor Polutan Organik Persisten (POP) untuk memerangi perdagangan plastik lintas perbatasan yang tidak terkendali.
DLH Anggap Warga Desa Bangun Sehat
Beberapa warga di Desa Tropodo dan Bangun yang ditanyai juga mengalami masalah pernafasan (ISPA) akibat asap yang ditimbulkan dari pembakaran sampah plastik. Seorang warga desa di Tropodo mengatakan tempat tinggal mereka dikenal sebagai “desa asap”.
Hadi Sukari, salah seorang warga desa Tropodo, mengaku menderita bronkitis, sementara istrinya mengalami gangguan jantung. “Kita tidak perlu bilang apa masalah kita ke dokter di rumah sakit. Mereka sudah tahu kalau kita dari Tropodo pasti masalah pernafasan,” kata Hadi.
Kepala DLH Kabupaten Mojokerto, Didik Chusnul Yakin justru membantah fenomena penyebaran penyakit ISPA atau gejala lain yang diderita masyarakat di lingkungan tempat penimbunan sampah. Ia menyatakan hampir tidak ada warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging yang mengeluhkan gangguan saluran pernafasan (ISPA) atau menderita penyakit Dermatitis (radang kulit).
Kondisi warga Desa Bangun yang tidak terpapar penyakit apapun diketahui Didik dari hasil studi sewaktu dirinya menjabat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. Dinkes saat itu meneliti 10 penyakit yang sering diderita warga Desa Bangun.
“Nyatanya, tidak ada orang sakit ISPA atau lainnya yang disebabkan pencemaran lingkungan akibat sampah. Dewasa atau anak-anak sama, tidak ada yang sakit,” ungkap Didik.
Normalnya, lanjut Didik, orang yang hidup di lingkungan seperti itu rawan terserang penyakit saluran pernafasan, gatal-gatal atau dermatitis. Padahal ketika bekerja melakukan pemilahan sampah, mereka pun hanya menggunakan masker biasa.
“Nah ini tidak ada yang sakit itu. Warganya biasa-biasa saja, kalau diprotes (penimbunan sampah), tidak ada (dampak buruk) apa-apa, malah mendatangkan berkah,” tutur mantan Kadinkes Kabupaten Mojokerto ini. (im)