IM.com – Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara menjadi ramai diperbincangkan publik dunia maya setelah divonis pidana 1,5 tahun penjara dalam kasus penistaan agama. Sebagian pihak menganggap putusan tersebut terlalu berlebihan hanya karena Meliana memprotes gema suara azan di masjid dekat rumahnya yang dia anggap terlalu keras.
Kasus ini sejatinya terjadi pada dua tahun lalu. Setelah proses hukum yang cukup berlarut, Pengadilan Negeri Medan akhirnya memutuskan Meliana terbukti bersalah melakukan perbuatan penistaan agama.
Majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan perbuatan Meiliana melanggar Pasal 156A KUHPidana.
“Menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan,” kata Wahyu.
Hukuman ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Meiliana diganjar hukuman 1 tahun 6 bulan. Sementara itu, Meiliana dan pengacaranya langsung menyatakan banding.
Putusan ini mendapat reaksi keras dari beberapa pihak. Wakil Ketua SETARA Institut Bonar Tigor Naipospos, mengecam vonis terhadap Meiliana yang dinilainya telah dijadikan kambing hitam dari peristiwa kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumut.
“Apa yang diperbuat oleh Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan agama, dia hanya meminta volume suara adzan dikecilkan. Itu pun tidak langsung disampaikan kepada masjidnya, tapi dia hanya bicara kepada tetangga di sekitar rumahnya. Permintaanya disampaikan dengan santun,” ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir pun menyoroti putusan hakim. Ia meminta semua pihak memupuk dimensi kedewasaan dan toleransi.
Ia mencontohkan di masjid orang seharusnya tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang berbeda agama. Demikian juga yang di gereja.
“Warga juga jangan terlalu sensitif juga, kadang masyarakat kurang proporsional juga, kalau ada hiburan kadang tanpa izin, gede-gede suaranya sering gak terganggu, tapi ada suara azan dikit kencang aja terganggu,” kata Haedar ditemui usai silaturahmi dengan Presiden Jokowi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Ia menegaskan perlunya dipupuk kedewasaan dan toleransi sehingga tidak semua hal masuk ke ranah hukum. Ketika ditanya apakah suara azan harus keras, Haedar mengatakan azan harus terdengar orang lain sehingga didengar tahu dipanggil untuk salat.
“Kalau di dalam hati gak kedengaran jamaah, soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing masing, bukan soal besar kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja,” katanya.
“Yang satu saking semangatnya azan kenceng sekali, yang satu terlalu sensitif juga, padahal ketika dengar lagu dangdut di samping dia enggak terganggu. Ada sesuatu yang perlu didialogkan,” imbuhnya.
Kronologi Meliana Memprotes Suara Zan hingga Kerusuhan Meletup
Meski sebagian pihak menganggap vonis terhadap Meliana berlebihan. Faktanya, tindakan Meliana memprotes volume azan melalui pengeras suara Masjid di Tanjung Balai, Sumut menjadi bola liar yang kemudian memicu aksi massa bernuansa SARA.
Kasus ini bermula pada Senin, 29 Juli 2016. Suasana di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan tegang setelah seorang warga, yaitu Meiliana menyampaikan proses terhadap suara azan yang menggema dari Masjid Al Maksun. Berdasarkan penelusuran dua tahun lau, protes Meiliana disampaikan kepada salah seorang nazir masjid bernama Kasidik. Kasidik lalu memberi tahu teguran tersebut kepada jemaah masjid setelah Shalat Magrib.
Setelah berdialog dengan jemaah masjid, Harris Tua Marpaung selaku Imam Masjid dan beberapa pengurus Badan Kemakmuran Masjid (BKM) mendatangi rumah Meliana. Di sana sempat terjadi perdebatan antara jemaah masjid dengan Meliana.
“Lu, Lu yaa (sambil menunjuk ke arah jamaah masjid). Itu masjid bikin telinga awak pekak. Kalau ada pula jamaah minta berdoa, minta kaki lah bujang, bukannya angkat tangan,” tuding Meliana seperti yang diceritakan Harris Tua saat dijumpai Tempo di Masjid Al Maksun pada Kamis (4/8/2106).
Perdebatan tersebut sempat terhenti setelah suami Meliana, Lian Tui, hadir menjadi penengah dan meminta maaf kepada jemah masjid.
Tapi tak lama kemudian, suasana kembali tegang setelah Meiliana kembali berteriak dan marah saat azan Isya berkumandang. Sikap itu membuat masyarakat makin emosi.
Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saat itu pengurus BKM dan jamaah masjid berinisiatif membawa Meliana ke kantor kelurahan Tanjung Balai Kota 1. Di tempat itu, Meiliana terus disoraki oleh masyarakat meski telah meminta maaf di hadapan Lurah Tanjung Balai Kota 1 saat itu, Edy Muriadi.
“Enggak sempat buat permintaan maaf di atas kertas. Karena kami anggap sudah makin tidak kondusif, makanya dibawa ke Polsek Tanjung Balai,” kata Edy saat ditemui di kantornya, Kamis (4/8/2016) lalu.
Edy sempat akan pulang usai membawa Meiliana ke polsek. Namun Camat Tanjung Balai Selatan memintanya kembali ke polsek untuk melakukan mediasi. Di tengah mediasi, sekitar pukul 21.30 WIB sebuah kerusuhan pecah saat masyarakat yang diduga dari luar kelurahan Tanjung Balai Kota 1 mendatangi rumah Meiliana dan melakukan pengrusakan.
Seketika kerusuhan menjalar dan massa yang tidak diketahui pasti asalnya menyerbu berbagai kelenteng dan vihara di seputaran Kota Tanjung Balai. Amukan massa berpuncak hingga penyerangan Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera yang terletak di tepi Sungai Asahan menjelang subuh. Sepanjang malam itu suasana mencekam.
Dampaknya, sedikitnya tiga vihara, 8 kelenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan dan rumah Meiliana rusak. Sebanyak 20 orang juga sempat ditahan polisi karena dianggap menjadi pelaku pengrusakan.
Buntut dari rangkaian peristiwa itu, Meiliana menjadi tersangka penistaan agama pada Maret 2017 hingga diseret ke meja hijau. Lalu sekitar 8 orang yang terlibat pengrusakan vihara dan klenteng juga diseret dan dihukum sekitar 1-3 bulan penjara. (tpi/im)