IM.com – Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia cukup melesat. Industri manufaktur UMKM kemasyarakatan non migas bahkan diklaim menyokong PDB hingga 20,5 persen pada tahun 2017, terkategori level kontribusi terbesar kelima di dunia.
Hal ini disampaikan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto dalam acara seminar nasional ‘Pengembangan UMKM dan Workshop Menembus Pasar Digital’ di Hotel Sheraton Surabaya, Kamis (7/2/2019). Airlangga mengajelaskan, pertumbuhan industri pengolahan non migas periode 2015-2018 rata-rata 4,87 persen dengan nilai PDB terakhir pada tahun 2018 sebesar Rp 2.555,8 triliun.
“Untuk distribusi rataan industri dengan pertumbuhan tertinggi adalah makanan dan minuman pada angka 8,71 persen. Yang masih belum optimal industri tekstil dan pakaian jadi yaitu 1,64 persen,” papar Airlangga Hartarto.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi industri manufaktur pada 2018 mencapai Rp 222,3 triliun. Industri makanan mencatatkan realisasi investasi terbesar pada penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai Rp 39,1 triliun. Selanjutnya, diikuti industri kimia dan farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp 13,3 triliun.
Sedangkan, untuk penanaman modal asing (PMA), sektor industri pengolahan yang investasinya terbesar adalah industri logam dasar, barang logam bukan mesin, dan peralatannya senilai USD 2,2 miliar. Selain itu, investasi industri kimia dan farmasi senilai USD 1,9 miliar serta industri makanan sebesar USD 1,3 miliar.
Airlangga menilai ada beberapa faktor yang memengauhi perlambatan investasi pada tahun lalu, antara lain naiknya suku bunga the fed yang diikuti kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
“Selain itu, rupiah yang sempat berfluktuasi sehingga investor sempat wait and see,”
Meski demikian, Airlangga menambahkan, kontribusi manufaktur pada PDB Indonesia masih di atas Tiongkok.
“Jadi kalau ada pengamat bilang kontribusi manufaktur kita masih di bawah 30 persen, ternyata di dunia tidak ada yang di atas itu. Tiongkok masih 28,8 persen,” tuturnya.
Bahkan beberapa perusahaan manufaktur asal Negeri Tirai Bambu kepincut dengan prospek investasi industri manufaktur di Indonesia. Kendati, invasi modal dari Tiongkok ini tak lepas dari perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Mereka ingin memindahkan basis produksinya ke Indonesia demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS.
“Beberapa industri tekstil dan alas kaki global sedang mempertimbangkan pemindahan pabrik dari China ke Indonesia,” kata Airlangga.
Ia mengungkapkan, selain ada penambahan investasi baru, perang dagang AS-China juga membawa dampak bagi pelaku industri di Indonesia untuk memacu utilitas atau kapasitas produksinya dalam upaya mengisi pasar ekspor ke dua negara tersebut.
“Kita telah ekspor baja ke Amerika Serikat, sehingga harapannya bisa memasukkan lebih banyak lagi produk itu,” tuturnya.
Ketua Umum Partai Golkar itu mengungkapkan ada investor China yang bakal menanamkan modalnya sebesar Rp 10 triliun di sektor industri tekstil. Investasi ini mengarah pada pengembangan sektor menengah atau midstream, seperti bidang pemintalan, penenunan, pencelupan, dan pencetakan.
Berikutnya investor dari China saat ini juga tengah membangun kawasan industri baru di Sulawesi Tengah, yang selama lima tahun ini telah berinvestasi sebanyak US$5 miliar. Ekspor dari lokasi tersebut sudah mencapai USD 4 miliar.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dinilai menjadi salah satu negara tujuan utama bagi investor China. Ini seiring pula dengan komitmen pemerintah yang terus menciptakan iklim investasi kondusif dan memberikan kemudahan dalam proses perizinan usaha,” tambahnya.
Sekadar informasi, pada Januari-November 2018, ekspor besi dan baja Indonesia ke AS melonjak hingga 87% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan total ekspor Indonesia ke AS tercatat tumbuh 3% pada periode yang sama. (bes/im)