IM.com – Skandal terkait pengurusan izin prinsip pemanfaatan ruang (IPPR) dan Izin mendirikan bangunan (IMB) atas pembangunan menara telekomunikasi yang menyeret Bupati nnaktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) berpotensi merembet ke aktor suap lebih kakap. Kasus suap itu bisa saja berkembang ke arah tindak pidana korupsi korporasi.
“Melihat kronologis dan proses penyelidikan dan penyidikan kasus suap ini patut diduga adanya keterlibatan korporasi yang sangat kuat,” kata Koordinator Koalisi Pemuda Anti Korupsi Telekomunikasi (Kapak Telkom) Ahmad di Gedung KPK, Rabu (15/5/2019).
Massa yang menamakan diri Kapak Telkom menggelar demonstrasi di depan Gedung KPK, Rabu (15/5/2019). Unjuk rasa ini bersamaan dengan agenda pemriksaan Bupati MKP, hari ini, sebagai saksi kasus gratifikasi untuk tersangka mantan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto, Zainal Abidin. (Baca: Bupati Nonaktif Mojokerto MKP Kembali Diperiksa KPK).
Dalam unjuk rasa itu, massa Kapak Telkom mendesak KPK membongkar tuntas kasus suap pengurusan izin mendirikan tower yang melibatkan dua perusahaan yakni PT Tower Bersama Infrastruktur Group Tbk (TBIG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo). Kedua perusahaan ini terbukti menyuap Bupati MKP untuk memuluskan keluarnya izin mendirikan 22 tower telekomunikasi (masing-masing 11 tower) di Kabupaten Mojokerto.
Petinggi dua perusahaan itu yakni Ockyanto selaku Kepala Divisi Perizinan PT Tower Bersama Group (TBIG) dan Onggo Wijaya (OW) sebagai Direktur Operasional PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) pun telah divonis bersalah. Keduanya bersama tiga perantara suap telah dijatuhi hukuman yang beragam oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya. (Baca: Lima Penyuap Bupati MKP Divonis Berbeda, Paling Berat 2 Tahun 8 Bulan).
Demikian pula Bupati MKP yang divonis hukuman 8 tahun penjara dan mengembalikan uang suap Rp 2,75 miliar ke negara. (Baca: MKP hanya Dihukum 8 Tahun Penjara dan Kembalikan Rp 2,75 Miliar dan Dari Dugaan Total Suap Rp 2,74 M untuk MKP, Rp 2,2 M Disetor Lewat Kabag Umum).
Ahmad menegaskan, KPK tidak boleh berhenti hanya dua petinggi perusahaan pemberi suap itu. Menurutnya, KPK harus mengembangkan penyidikan kasus ini menjadi tindak pidana korupsi korporasi.
“Dua petinggi perusahaan yang sudah divonis itu hanya suruhan. Ada bos di atas mereka yang menyuruh, minimal menyetujui suap itu. Tidak mungkin perusahaan mengeluarkan duit (untuk menyuap, red) tanpa diketahui pimpinannya,” tandas Ahmad.
Bos perusahaan yang dimaksud Ahmad adalah Presiden Direktur PT TBIG Herman Setya Budi. Ahmad menduga, Herman inilah yang menjadi aktor intelektual suap dari perusahaannya ke Bupati MKP dan sejumlah pejabat terasnya.
“Seharusnya tidak sulit bagi KPK untuk menjerat Presdir PT TBIG ini. Apalagi dia sudah pernah diperiksa sebagai saksi,” cetus Ahmad. Selain Herman, KPK juga pernah memeriksa Direktur PT TBIG Budianto Purwahjo dan Division Head Finance and Treasury PT TBIG Alexandra Yota Dinarwanti.
Secara bukti, Ahmad meyakini KPK bisa mengantongi setidaknya dua alat bukti kuat untuk menjerat PT TBIG dan Protelindo. Selain dari bukti dan fakta persidangan yang lalu, keyakinan Ahmad itu disandarkan pada operasi penggeledah yang telah dilakukan KPK di kantor dua perusahaan tersebut.
Ahmad menegaskan, KPK tidak boleh berhenti hanya dua petinggi perusahaan pemberi suap itu. Karena kasus ini sangat terbuka untuk dikembangkan menajadi tindak pidana korporasi.
Berikutnya penggeledahan di kantor Regional
Office Tower Bersama Grup (TBG) di Surabaya, kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Mojokerto. Serta dan kantor Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Mojokerto.
Selain itu, KPK telah memeriksa Presiden Direktur (Presdir) PT TBIG Herman
Setya Budi diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi mendalami terkait
rekening koran PT TBIG yang di duga sebagai sumber suap kepada Bupati
Mojokerto.
Selain desakan dari sisi hukum, Kapak Telkom juga meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) PT TBIG dari emiten di pasar modal karena telah terindikasi melakukan korupsi korporasi. Meski maish dugaan, hal itu sudah jelas melanggar azas good and clean corporate.
Tindak Pidana Korupsi Korporasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korporasi dalam UU Tipikor didefinisikan sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam UU Tipikor ditegaskan subyek hukum pelaku korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi. Secara lebih rinci, tipikor korupsi ini diatur dalam Pasal 20 UU Tipikor yang intinya menyebutkan jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga. Proses pemberian efek jera bagi korporasi juga akan sangat efektif jika pelaku dijerat secara kumulatif tidak saja dengan UU Tipikor, tetapi juga dengan UU Pencucian Uang.
Selanjuutnya, dalam Pasal 7UU Pencucian Uang, pada intinya
disebutkan pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda
paling banyak Rp 100 miliar. Selain pidana denda, dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi,
pencabutan izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, perampasan
aset korporasi untuk negara dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.
(im)