Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa beserta jajaran didampingi Wabup Mojokerto Pungkasiadi berdialog dengan warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Rabu (19/6/2019). Foto: Martin

IM.com – Sampah kertas dan plastik yang diimpor perusahaan kertas menjadi ancaman paling berbahaya bagi lingkungan hidup, terutama di Jawa Timur. Pasalnya, mayoritas pabrik kertas di Jatim masih menggunakan bahan baku kertas bekas dari luar negeri tanpa diimbangi dengan dengan penyediaan fasilitas tempat pembuangan dan pengolahan (Ipal) limbah yang layak dan memadai.

“Sebagian besar industri kertas di Jawa Timur masih menggunakan bahan baku kertas (waste paper) bekas. Kami punya catatan industri-industri di Jawa Timur yang mengimpor bahan baku dari luar,” kata Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat meninjau pusat pengolahan limbah kertas PT Pakerin di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto, Rabu siang (19/6/2019).

Khofifah menyebutkan, beberapa pabrik kertas di Jatim yang menggunakan waste paper impor berada di Kabupaten Mojokerto. Seperti PT Mega Surya Eratama, PT Sun Paper Source, dan PT Mekabox International dan PT Pakerin yang lokasi Ipalnya ada di wilayah Kabupaten Mojokerto.

Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak mungkin membiarkan industri kertas dari bahan baku kayu di dalam negeri. Karena hal itu tentu mengancam kelestarian hutan.

“Karena kita juga sadar, jika industri kertas menggunakan bahan pulp, eksistensi hutan juga terancam,” ujar gubernur.

Khofifah mengatakan, penggunaan kertas bekas impor untuk bahan baku produksi kertas sejatinya legal sepanjang sesuai regulasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016 maupun Konvensi Basel. Namun yang menjadi masalah adalah ribuan ton kertas bekas yang diimpor perusahaan-perusahaan itu selalu tercampur dengan plastik.

“Ini yang harus jadi perhatian, me-manage (mengelola) lebih baik dan aman. Surveyor di setiap kepabeanan, harus lebih straight (tegas),” tegasnya.

Surveyor, imbuh Khofifah, harus lebih teliti dalam memeriksa dan menilai barang bekas yang diimpor perusahaan kertas. Muatannya harus sesuai dengan HS Code (uraian barang) dalam nota impor.

Khofifah mencemaskan, kalau kandungan plastik dalam muatan sampah kertas impor tetap dibiarkan lolos, akan semakin berbahaya bagi lingkungan dan sungai, khususnya di Mojokerto. Karena plastik tidak bisa terurai dalam waktu singkat. (Baca: Per Hari, 75 Ton Sampah Plastik Impor Dibuang ke Desa Bangun, 60 Persen Tak Bisa Didaur Ulang).

Data Ecoton menyebutkan, ada 12 pabrik kertas di Jawa Timur yang mencemari lingkungan karena buruknya pengelolaan limbah dari bahan baku maupun hasil produksi. (Baca: Limbah 12 Pabrik Kertas di Jatim Ini Bahayakan Lingkungan Warga dan Sungai).

Karena itu, Khofifah meminta pabrik kertas agar tidak lagi sembarangan menerima bahan baku impor. Ia mengimbau agar Khofifah perusahaan importir mengingatkan pihak pengekspor kertas bekas kalau masih ada sampah plastik dan limbah B3 di dalam muatan impor, maka akan dikembalikan.

“Jika masih terdeteksi ada plastik, harus dikembalikan dan pemerintah segera menindaklanjutinya,” tandasnya. Sayangnya ketika didesak, mantan Menteri Sosial itu tidak menjelaskan tindak lanjut maupun sanksi lain yang lebih dari sekadar mengembalikan sampah plastik ke negara pengekspor.

Sebagai catatan, sampah kertas yang diimpor ke Indonesia, mayoritas di Jatim, berasal dari negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Dari Inggris saja, sedikitnya 68 ribu ton sampah yang masuk ke tanah air, sebagian besar digunakan sebagai bahan baku industri kertas di Jawa Timur. (Baca juga: Profesor Ekologi Inggris Kritik Pembuangan Limbah Plastik Negaranya ke Mojokerto).

Alhasil, daerah yang terdapat pabrik kertas seperti Mojokerto (4 pabrik) menjadi tempat pembuangan limbah sisa sampah yang tidak terpakai sebagai bahan baku. Ironisnya, kandungan plastik yang berjumlah besar dalam muatan impor kertas bekas itu dipastikan termasuk dalam limbah tersebut.

Karena itu, idealnya, industri harus memiliki Ipal yang bermutu dan memadai untuk mengolah limbahnya sampai pada unsur terkecil. “Perusahaan harus mengolah lagi sampai pada residu akhir yang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Ini untuk menjaga lingkungan tetap baik,” timpal Wakil Bupati Mojokerto Pungkasiadi. (im)

1,700

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini