IM.com – Penimbunan sampah impor di pemukiman melahirkan dilema bagi pemerintah karena memberi manfaat ekonomis bagi warga sekaligus dampak pencemaran yang mengancam kesehatan. Meski demikian, 210 ton sampah impor yang masih menumpuk di Pelabuhan Petikemas, Pelabuhan Tanjuung Perak Surabaya patut mendapat pengawasan dari banyak pihak.
Pengawasan harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah dan jawatan berwenang, tetapi juga masyarakat umum. Pasalnya, sampah impor asal Australia itu rawan diselundupkan ke sejumlah tempat pemilahan sampah di Jawa Timur, seperti di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto.
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Setelah diteliti, Tak sedikit sampah-sampah menggunung di Desa Bangun juga banyak yang berasal dari Negeri Kanguru. (Baca: Australia Buang 800 Ribu Ton Sampah ke Indonesia Setiap Tahun).
Sampah-sampah itu, banyak juga dari Australia, dibuang oleh importir dan pabrik kertas untuk dipilah. Selama ini, proses pemilahan sampah maupun limbah indsutri pabrik kertas untuk dijual kembali ke distiributor menjadi mata pencaharian warga (petani sampah) di Desa Bangun.
“Kami mengerjakan hal ini demi anak-anak, demi sekolah mereka, dan untuk menutupi semua pengeluaran. Warga di sini bergantung pada bisnis daur ulang ini,” kata Supiyati, salah seorang warga Desa Bangun.
Supiyati sudah delapan tahun ini mengais rezeki dari sampah impor yang dibuang di desanya. Saat ini Supiyati mempekerjakan empat orang tenaga pemilah sampah, yang dibayar Rp 40 ribu perorang perhari. (Baca juga: Menengok Warga Desa Bangun, Hidup dari Berkah Sampah).
Sebagaimana dilansir ABC News –media terbesar di Australia, pihak importir, pabrik kertas dan perusahaan daur ulang yang mengimpor sampah itu tak segan mengeluarkan uang untuk membayar warga setempat guna melakukan pemiliahan sampah.
Semua yang masih bisa didaurulang akan diikat dalam bundel dan dibawa pergi untuk dijual kembali. Para petani sampah ini bekerja keras memilah dan memisahkan plastik dengan barang bekas lain.
Secara berkala, tampak truk-truk dari pabrik kertas datang ke sana menurunkan muatannya. Dari pekerjaan memilah sampah itu, Supiyati mengaku kerap menemukan barang yang masih berharga dan bisa dijual.
“Saya pernah menemukan gigi emas. Saya jual Rp 800 ribu!” ungkapnya.
Tetapi ada ironi lain. Residu sampah yang tidak berharga dan tak bisa didaur ulang menimbulkan pencemaran lingkungan hingga bisa membahayakan kesehatan masyarakat. Sampah yang tak bisa didaur itu akan dibawa ke tepi sungai (Brantas) dan dibakar.
Namun begitu, ironi ini masih menjadi dilema bagi pemangku kebijakan. Di saat desakan aktivis untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman sampah impor menguat, pemerintah pun masih sulit bertindak tegas menghentikan pembuangan sampah impor di pemukiman warg karena menjadi sumber nafkah mereka.
Seperti sebagian besar warga di Desa Bangun, termasuk Supiyati, tak mau bisnis daur ulang sampah di lingkungannya dihentikan. Mereka masih meyakini pekerjaan memilah sampah plastik dan kandungan B3 (bahan beracun dan berbahaya) merupakan satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup bagi keluarga dan anak-anaknya.
“Yang penting anak-anak saya tidak berakhir seperti orangtua mereka. Itu saja yang saya inginkan,” ujar Supiyati.
Cemari Sungai, Sumber Pencaharian Nelayan Musnah
Seorang warga Bangun lainnya yang ditemui ABC, Sugeng, merupakan salah satu dari sedikit penduduk di sana yang tak terlibat bisnis daur ulang.
Sugeng yang bekerja sebagai nelayan rela pergi jauh untuk menangkap ikan. Ia tak bisa lagi menebar jalanya di sungai Brantas dekat wilayahnya lantaran pencemaran sampah telah menghabisi populasi ikan.
Ia mengatakan, sungai tempatnya biasa berenang ketika masih anak-anak dan kini dalam kondisi berbau menyengat. Menurutnya, limbah buangan dari pabrik yang memproses kertas daur ulang telah merenggut sebagian kawan masa kecilnya.
“Ketika saya masih kecil, airnya bersih di daerah ini. Kita bisa berenang, bermain, semua masih alami. Tapi tidak ada yang bisa bermain di sungai lagi karena air tercemari pabrik kertas,” katanya.
Sugeng percaya semua limbah plastik itu telah membuat desanya sakit.
“Saya tidak bisa pastikan apakah kawan-kawan saya meninggal karena polusi, tapi banyak yang meninggal muda. Orang-orang di Solo dan Yogyakarta meninggal karena usia tua, tapi tidak begitu di sini,” kata Sugeng.
Di sisi lain, surveyor dan pengawas di setiap Kepabeanan terkesan kurang teliti dan tegas dalam menyaring waste paper yang diimpor perusahaan kertas sebagai bahan baku. Kondisi itu menambah masalah pada banyaknya celah dalam regulasi tentang impor sampah yang rawan dimanfaatkan oknum pengusaha maupun pemegang kekuasaan.
Masalah ini diakui sendiri oleh Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Menurut gubernur, surveyor seharusnya memberikan memberi peringatan dan sanksi tegas kepada improtir yang mendatangkan sampah kertas dari luar negeri yang di dalamnya terdapat kandungan plastik. (Baca juga: Pabrik Kertas di Mojokerto Gunakan Bahan Baku Sampah Impor, tapi Ipal Buruk).
“Surveyornya harus lebih teliti, tegas, dan memberikan punishment saat barang yang diimpor ternyata tidak sesuai dengan nota impor. Muatannya harus sesuai dengan HS Code (uraian barang) dalam nota impor,” demikian gubernur saat meninjau pusat pengolahan limbah kertas PT Pakerin di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto, Rabu lalu (19/6/2019). (abn/im)