IM.com – Langkah Yoko Priyono menggandeng pasangan bakal calon wakil bupati sejak awal mendaftarkan pencalonan lewat partai politik boleh jadi bagian dari strategi untuk menunjukkan keseriusannya maju di Pilkada Kabupaten Mojokerto 2020. Namun siasat politik itu juga bisa menjadi blunder apabila Yoko memaksakan rekom partai untuk satu paket pasangan cabup-cawabup sekaligus.
Yoko yakin, duetnya bersama mantan Wakil Bupati Mojokerto Chairunnisa bakal mendapat sambutan positif dari partai. Alasannya sejak awal maju bersama pasangan calon wabup adalah untuk memberikan kepastian kepada partai politik sebagai representasi dari rakyat.
“Saya tidak mau membuat partai maupun masyarakat seperti membeli kucing dalam karung. Memberikan mandat tapi tidak tahu wakilnya siapa. Makanya, saya mendaftar langsung bersama pasangan, ini bukti saya serius maju,” kata Yoko kepada inilahmojokerto.com.
Kendati, sudah menjadi rahasia umum, bahwa partai memiliki ‘tradisi politik’ mengajukan calon kepala daerah pilihannya sebagai nilai tawar atas rekomendasi yang diberikan kepada kandidat yang melamar. Tradisi ini berlaku hampir di setiap perhelatan pemilu maupun pilkada, khususnya pada partai yang memiliki jumlah suara atau kursi dewan yang signifikan.
Dalam beberapa peristiwa politik, PDIP misalnya, merupakan salah satu partai yang kerap menjalankan kebiasaan itu. Bahkan sebagai partai pemenang pemilu dua periode ini, PDIP menuntut calon yang akan diusung harus kader sendiri.
Menurut pria yang masih menjabat Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Mojokerto, kebiasaan itu tidak akan berlaku kepada dirinya dan Chairunnisa. Sebab, partai akan menilai tingkat elektabilitasnya bersama Nisa yang cukup tinggi.
“Partai tentu akan menilai dan mempertimbangkan kalau elektabilitas tinggi pasti dipilih. Saya tidak berrspekulasi soal pasangan, harus yang serasi dan se-pemikiran, selanjutnya partai yang akan menilai dai menentukan calon yang elektabilitasnya tinggi yang dipilih,” ujarnya.
Berkaca pada pengalaman Pilkada Kota Surabaya 2016 silam, elektabilitas tinggi dari kandidat non-kader parpol masih kalah dibanding nilai tawar rekomendasi dari partai besar seperti PDI Perjuangan. Ketika itu, Tri Rismaharini yang memiliki elektabilitas di atas 70 persen berdasar hasil survei berbagai lembaga masih ‘dipaksa’ bergabung menjadi kader partai banteng moncong putih itu untuk mendapatkan tiket maju di periode keduanya.
“Selama ini tidak ada (partai) yang memaksa. Insya Allah tidak terjadi seperti itu. Ini baru pertama lho, maju langsung bersama pasangan,” tandasnya. (Baca: Duet Pertama di Pilkada Kabupaten Mojokerto 2020, Yoko-Nisa Incar Rekom PPP dan Hanura).
Atas dasar itu, Yoko menghendaki duetnya bersama Chairunnisa bisa direstui partai dan berlanjut sampai ditetapkan sebagai pasangan Cabup-Cawabup Mojokerto oleh Komisi Pemilihan Umum.
“Partai itu kan dari rakyat untuk rakyat, tentu akan mengikuti kehendak rakyat. Saya pun yakin majunya saya bersama Bu Nisa mendapat dukungan besar dari rakyat,” tuturnya.
Walau bagaimanapun, tidak ada yang pasti dalam politik. Demikian pula dengan penentuan pasangan calon.
Selama lobi politik sang calon tidak bisa bersikukuh dengan pasangan cawabupnya. Terutama jika koalisi partai mengajukan calon wakil lain.
Dalam situasi itu, kelihaian mantan Kepala Bappeda itu berserta tim suksesnya dalam negosiasi politik akan sangat menentukan masa depan duet ini. Jika salah langkah, justru bisa membuat peluang Yoko mendapatkan rekom melayang.
“Itu urusan internal tim saya (lobi ke DPP),” ucap Yoko
Sejauh ini, Yoko sudah menyerahkan berkas pendaftaran calon di Partai Gerindra, PPP dan Hanura. Selain itu, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto itu juga mengincar rekom dari PAN.
Politisi PAN Muhammad Santoso mengamini segala kemungkinan memang masih bisa terjadi, termasuk ganti pasangan. Karena proses politik sampai partai mengeluarkan rekomendasi masih sangat jauh.
Menurutnya, Yoko masih harus menggalang dukungan sejumlah partai lain hingga memenuhi syarat minimal maju sebagai cabup yakni 10 kursi DPRD.
“Parpol biasanya memberikan tugas kepada calon untuk menarik banyak dukungan dari partai lain, membentuk koalisi. Setelah koalisi terbentuk, baru mengeluarkan rekomendasi resmi untuk mendaftarkan pasangan calon ke KPU,” papar Santoso.
Nah dalam proses itulah, menurut Santoso, segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk peluang terjadinya bongkar pasangan.
Santoso pun mencontohkan pengalaman Chairunnisa kala maju sebagai Cabup pada Pilkada 2015 lalu, sempat beberapa kali ganti pasangan sebelum dipastikan menggandeng Arifudinsjah sebagai cawabup.
“Situasi politik masih cair, semua partai belum mengeluarkan sikap resmi. Jadi ganti-ganti bongkar pasangan masih sangat mungkin terjadi,” cetus mantan Ketua DPD PAN Kabupaten Mojokerto ini.
Terlebih lagi, Yoko juga masih harus bersaing dengan dua kandidat lain yang santer di bursa cabup yakni Pungkasiadi dan Ikfina Fahmawati. Keduanya juga mengincar tiket dari partai-partai yang dilamar Yoko tadi.
“Dalam kontestasi seperti itu, partai akan menilai calon yang elektabilitasnya paling tinggi,” ujar Santoso. (im)