Oleh: Prima Sp Vardhana
Sejak bergulirnya Era Reformasi, keterlibatan Gus Sholah dalam bidang politik semakin intens. Pada 1998 ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum, Amien Rais. Namun rencana itu gagal, karena Amien Rais menolak dan memilih mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN).
Beliau pun bergabung dengan pamannya KH. Yusuf Hasyim mendirikan Partai Kebangkitan Umat (PKU), selanjutnya mendapat amanah sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat dan Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU.
Saat menjabat pengurus PKU, perseteruan Gus Sholah dan Gus Dur kian menyedot perhatian. Masing-masing memegang kuat prinsip yang berbeda. Gus Dur lebih moderat dan banyak yang menyebut sekuler, sementara Gus Sholah lebih berprinsip Islami.
Fakta itu tercermin dari partai yang mereka dirikan. PKU berasaskan Islam, sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur berasaskan nasionalis.
Perbedaan tersebut membuat keduanya sering saling melontarkan kritik pedas. Bila Gus Dur pernah mengeluarkan ungkapan “Telor dan Tahi Ayam” untuk membedakan PKU dan PKB. Kritikan itu dibalas Gus Sholah dengan membongkar rahasia dapur PKB, dengan mengatakan, “Mereka membohongi umat dengan menyatakan PKB partainya NU. Itu pembohongan publik. PKB bukan partai Islam, tetapi partai sekuler”.
Bahkan, saat Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1-5 Desember 1994. Saat itu, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, ternyata Gus Sholah berada di pihak yang berseberangan dengan Gus Dur. Padahal Muktamar tersebut diakui para pengamat merupakan paling menegangkan dan terpanas dalam sejarah NU.
Muktamar ini merupakan puncak terjadinya kedholiman rezim orde baru terhadap NU. Pada saat itu, NU dan sosok Gus Dur dengan segala keberaniannya ‘melawan’ pemerintah. Sehingga dipandang Presiden Soeharto sebagai ancaman paling membahayakan.
Namun, ada sepenggal cerita yang patut menjadi renungan di balik perseteruan kedua saudara kandung tersebut. Kendati keduanya sangat keras dalam adu kritik, tapi dalam kesehariannya Gus Dur dan Gus Sholah bergaul dengan baik. Gus Sholah bersama istri dan tiga anaknya rajin mengunjungi Gus Dur di Ciganjur. Setiap pertemuan keluarga, keluarga Gus Sholah tetap bersenda-gurau dengan isteri dan puteri-puteri Gus Dur. Demikian pula Gus Dur dan Gus Sholah.
“Anggota Bani Hasyim sangat menjunjung azas demokrasi. Kami bebas saling kritik terhadap yang lain saat dinilai berbeda prinsip, tapi silahturahmi keluarga wajib dijaga tetap erat. Karena itu, polemik antara saya dengan Gus Dur merupakan konflik yang sejuk dan menghanyutkan,” kata Gus Sholah menilai hubungannya dengan Gus Dur.
Sedangkan keterlibatan Gus Sholah dalam PKU berakhir pada September 1999. Mundur dari PKU, Gus Sholah mulai fokus pada NU. Dalam Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Gus Sholah ikut maju sebagai salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU.
Gus Sholah kemudian terpilih sebagai salah satu Ketua PBNU periode 1999-2004. Pada Muktamar NU tahun 2004 di Solo, Gus Sholah kembali dipinang menjadi Ketua PBNU. Namun, pinangan tersebut ditolak secara halus.
Keterlibatan Gus Sholah di NU sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Pada 1977 bersama aktivis muda NU membentuk ”Kelompok G” yang kelak menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan materi kembalinya NU ke Khittah 1926. Namun keterlibatan itu baru diketahui publik sejak tahun 1990-an, dan semakin intens sejak tahun 2000-an.
Pada akhir tahun 2001, Gus Sholah didaftarkan adik iparnya, Lukman Hakim Syaifuddin (mantan Menteri Agama periode 2014-2019), sebagai calon anggota Komnas HAM. Kendati dengan persiapan sekedarnya, ternyata berhasil lolos uji kelayakan (fit and proper test). Selanjutnya menjadi salah satu komisioner dari 23 anggota Komnas HAM periode 2002-2007. Pada saat sama, terpilih sebagai Wakil Ketua II Komnas HAM.
Selama berkiprah di Komnas HAM, Gus Sholah sempat memimpin TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidiki kasus Kerusuhan Mei 1998 (Januari-September 2003), kemudian Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998, Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru, dan lain sebagainya. Sejak saat itu popularitasnya kian mengkilap. (*)