Oleh: Prima Sp Vardhana
KH SHOLAHUDIN WAHID telah berpulang pada Ahad sore, 2 Februari lalu. Bukan hanya kalangan Nahdliyin, sebutan bagi anggota Nahdlatul Ulama (NU), dan umat Islam secara keseluruhan, tapi juga bangsa Indonesia kehilangan atas berpulangnya beliau. Ini karena, ulama yang karib dipanggil Gus Sholah itu merupakan tokoh muslim yang multi-talenta. Bukan hanya tokoh agama, almarhum juga tokoh hak asasi manusia. Karena itu, adik almarhum Gus Dur itu diterima di semua golongan dan lintas agama.
Di Indonesia, tidak banyak tokoh agama, bahkan tokoh publik yang bisa diterima semua golongan. Itu tercermin dari kecerdasannya dalam menghindari permasalahan, yang tidak perlu merepotkan siapa pun. Kebijakan memilih penerusnya sebagai pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Sepanjang sejarah suksesi kekuasaan, biasanya pengganti akan dipilih saat pemegang kekuasaan lengser keprabon. Dapat disebabkan oleh sakit, kematian, atau kebosanan memegang kekuasaan. Bila pemegang kekuasaan lengser dalam saat hidup, maka “Putra Mahkota” akan diangkatnya sebagai pengganti. Pemegang kekuasaan yang baru. Sebaliknya jika pemegang kekuasaan lengser akibat kematian, maka “Putra Mahkota” langsung diangkat para sesepuh sebagai pemegang kekuasaan yang baru.
Namun, bukan sebuah kemuskilan yang terjadi, justru di luar pakem. Lengsernya pemegang kekuasaan akibat kematian itu, justru meletupkan sebuah perseteruan keluarga. Perebutan tahta penguasa. Putra Mahkota akan mempertahankan haknya. Merasa sebagai putra yang ditunjuk secara sah. Putra lain berlegitimasi merasa lebih mampu dari Putra Mahkota, sebagaimana dukungan keluarga dan sesepuh. Sehingga merasa lebih berhak dalam memegang kekuasaan.
Peristiwa perebutan kekuasaan dalam internal keluarga, sesungguhnya telah menjadi rahasia umum. Banyak peristiwa yang sudah terjadi. Tidak hanya di beberapa kerajaan dan keraton yang ada di Indonesia. Juga berlangsung di beberapa kerajaan atau kekaisaran yang ada di luar Indonesia.
Demikian pula pada beberapa pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa atau di provinsi lain, meski fakta perebutan kekuasaan itu tak pernah ditulis media. Hanya diketahui oleh internal keluarga pendiri pesantren. Atau yayasan pengurus pesantren.
Semua kisah buram yang menodai proses suksesi kepemimpinan di banyak kerajaan, keraton, dan kekaisaran di atas bumi ini. Juga, di beberapa pondok pesantren di Indonesia itu, tidak sekali pun mewarnai proses pergantian pengasuh di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Prose pergantian mengalir natural. Tanpa ada gejolak sekecil apa pun.
Kondisi adem, ayem, lan tentrem dalam proses suksesi kepemimpinan selalu mewarnai salah satu pesantren terbesar di Indonesia itu, sudah berlangsung sejak proses pergantian dari Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari pada KH Abdul Wahid Hasyim di tahun 1947.
Suksesi terjadi, karena Mbah Hasyim berpulang. Demikian pula suksesi dari H Abdul Wahid Hasyim pada adiknya, KH. Abdul Karim Hasyim pada 1950. Ini karena KH Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama dan harus berkantor di Jakarta. Juga pergantian dari KH. Abdul Karim Hasyim pada adik iparnya, KH. Achmad Baidhawi (suami Nyai Aisiyah atau putri ketiga dari Mbah Hasyim) pada 1951, karena Kiai Karim memilih untuk mengamalkan ilmu agamanya lewat jalur umum yang saat itu perlu ditangani.
Proses pergantian KH. Achmad Baidhawi pada adik ipar sekaligus mantu keponakan, KH. Abdul Kholik Hasyim (suami dari keponakan Kiai Badidhawi, Nyai Siti Azara) pada 1953. Kendati tak lagi menjadi pengasuh ponpes, Kiai Baidhawi tetap mengajar sebagai ustadz di ponpes tersebut. Membantu Kiai Kholik menyempurnakan perubahan sistem pengajian sorogan dan bandongan dari sejak ponpes berdiri, menjadi sistem klasikal (madrasah) yang mulai diterapkan pada tahun 1919.
Setelah 12 tahun mengemban amanah sebagai pengasuh ponpes, Kiai Kholik berpulang pada tahun 1965. Amanah sebagai pengasuh ponpes diberikan pada putra bungsu Hadratusy Syeikh, KH Muhammad Yusuf Hasyim pada 1965. Ulama yang karib dipanggil Pak Ud ini selanjutnya mengemban amanah tersebut selama 41 tahun.
Pada bulan Pebruari 2006, Pak Ud menelpon Gus Sholah dan menyampaikan niatnya untuk mundur dari jabatan pengasuh Tebuireng. Pak Ud meminta Gus Solah (KH. Salahuddin Wahid) untuk menggantikannya. Pada 12 April 2006, Gus Sholah bertemu dengan Pak Ud dan keluarga besar Tebuireng serta para alumni senior.
Mematangkan rencana pengunduran diri Pak Ud dan naiknya Gus Sholah sebagai pengasuh Tebuireng. Keesokan harinya, pergantian pengasuh diresmikan bersamaan dengan acara Tahlil Akbar Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Temu Alumni Nasional Pondok Pesantren Tebuireng yang dilangsungkan di halaman pondok.
Atmosfer sejuk kembali terulang dalam proses suksesi pengasuh Ponpes Tebuireng, pasca ditinggalkan KH. Sholahudin Wahid berpulang pada Ahad (2/2/2020) sore. Posisi pengasuh ponpes secara otomatis beralih pada KH Abdul Hakim Mahfudz atau yang akrab dipanggil Gus Kikin. Wakil Pengasuh Ponpes langsung menjabat Pengasuh menggantikan jabatan Gus Sholah.
Ini karena Gus Kikin sudah mendapat amanah dari Gus Sholah untuk menyiapkan diri sejak tahun 2016. Bersiap menggantikan adik almarhum Gus Dur jika sudah tiba waktunya. Amanah tersebut juga disetujui dan disepakati keluarga besar.
“Januari 2016 silam, saya diminta Gus Sholah membantu beliau dan bersiap. Kalau terjadi suksesi, saya diminta melanjutkan. Sejak itu, saya banyak belajar pada beliau,” kata Gus Kikin di sela-sela suasana duka atas berpulangnya Gus Sholah.