IM.com – Fakta baru terkait kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Kamis (3/2/2022). Keterangan tujuh orang saksi menguak pundi-pundi uang yang dikantongi MKP berasal dari gratifikasi dan fee proyek hingga upeti para bawahannya.
Dari tujuh orang saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) enam di antaranya merupakan pejabat teras Pemkab Mojokerto yang masih aktif. Antara lain Didik Chusnul Yakin, Asisten I yang pernah menjabat Pj Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto.
Kemudian Sekretaris DPRD yang juga mantan Kepala Dispendukcapil Bambang Eko Wahyuadi, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTST) Lutfi Ariyono dan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Abdulloh Muktar. Tiga saksi lainnya yakni mantan Camat Dawarblandong Budiono, Pejabat Fungsional Inspektorat Mojokerto Joko Wijayanto, serta pihak swasta Muhammad Farouq alias Condro.
Salah satu saksi, Budiono, mengaku selama tiga kali menduduki jabatan camat, dirinya telah menyetor uang senilai total Rp 710 juta kepada MKP melalui orang kepercayaannya. Setoran tersebut untuk fee pengangkatan jabatan maupun upeti rutin.
“Saya juga pernah dua kali untuk urunan beli Jet Ski sebesar Rp 10 juta dan tahun 2014 memberikan ke Abdullah Camat Mojosari Rp 10 juta untuk biaya WTP BPK RI,” ungkap Budiono.
Budiono membeberkan, upeti pertama yang dia setorkan ke MKP yakni pada tahun 2013 dirinya saat menjadi Sekcam Dawarblandong. Ketika itu, ia ditawari Nono, salah satu tangan kanan atasannya, untuk diangkat menjadi camat dengan syarat menyediakan uang sebesar Rp. 200 juta.
“Saya menyerahkan uang itu lewat Nono. Tapi setelah dilantik sebagai Camat Kutorejo saya dimintai tambahan lagi Rp 10 juta lagi oleh Nono,” ungkap Budiono.
Baca: KPK Telusuri Sumber TPPU MKP dari Gratifikasi hingga Jual Beli Jabatan, Saksi Ungkap Sosok Kunci Ini
Tahun 2015, posisi Budiono tiba-tiba dibekukan hanya sebagai Staf Dinas Sosial. Demi menduduki kursi strategis lagi, ia pun meminta tolong Condro, orang kepercayaan MKP lainnya untuk membantu mendapatkan jabatan baru.
“Dulu dikasih tahu Pak Condro kalau mau jadi camat lagi harus menyediakan uang Rp 500 juta. Setelah rembukan dengan keluarga, saya bisa mengumpulkan Rp 450 juta hasil dari jual tanah dan dari usaha tebu dan Rp 50 juta dari hutang,” bebernya.
Beberapa bulan berikutnya di tahun 2016, Budiono akhirnya dilantik sebagai Camat Dawarblandong dan menduduki kursi tersebut sampai sekarang. Setoran fee untuk promosi jabatan itu berlaku pada seluruh pejabat, setidaknya untuk enam pejabat yang menjadi saksi di Pengadilan Tipikor, Kamis (3/2/2022).
Dalam kasus TPPU, jaksa KPK mendakwa Mustofa Kamal Pasa selama menjabat Bupati Mojokerto tahun 2010-2015 dan 2015-2018 telah melakukan pencucian uang dari hasil suap dan gratifikasi senilai total Rp 48,1 miliar. Rinciannya, sebesar Rp 31 miliar dari jual beli jabatan, sumber fee proyek fisik senilai Rp16 miliar dan sisanya adalah upeti dan urunan para pejabat bawahan MKP.
Disebutkan bahwa setiap kepala organisasi perangkat daerah (OPD) wajib menyetor urunan antara Rp 7,5 juta hingga Rp 15 juta melalui koordinator yang ditunjuk Bupati MKP. Saksi Lutfi Ariyono misalnya, mengaku pernah menyerahkan uang urunan Rp 20 juta untuk biaya WTP dan Rp 15 juta untuk pembelian Jet Ski.
Selama menjabat Kadis PUPR, Lutfi harus menyediakan dana Taktis yang berasal dari potongan perjalanan dinas ASN di instansinya. Selain itu, mantan Kepala Dinas Sosial itu juga selalu melakukan pemotongan anggaran konsultan perencana sekitar 20-30 persen dan konsultan pengawas sebesar 10-15 persen.
“Tahun 2016 saya juga pernah menyerahkan uang Rp 170 juta melalui orang yang ditunjuk di Mall City Moro Surabaya,” jelas Lutfi.
Total Rp 8,9 Disetor Didik Chusnul
Total setoran uang dari saksi Didik Chusnul Yakin bahkan lebih fantastis, mencapai Rp 8,9 miliar. Upeti itu disetor sejak ia baru menduduki jabatan camat sampai menjadi pejabat teras.
“Pernah Rp 15 juta buat beli Jet Ski dan juga tiap hari raya Idul Fitri memberikan THR untuk bupati sebesar Rp.7,5 juta,” tandas mantan Kadisporabudpar, Kepala Dinas Kesehatan hingga Plh BUpati Mojokerto ini.
Sementara terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) membantah pengakuan beberapa saksi. Ia menyatakan, banyak keterangan mereka yang dimodifikasi sehingga melenceng dari fakta sebenarnya.
“Keterangan para saksi 60 persen benar dan 40 persen tidak jujur yang Mulia,” tukasnya menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Tipikor Marper Pandiangan.
Terdakwa mencontohkan keterangan saksi Budiono. MKP mengakui memang menerima uang dari bekas bawahannya itu sebesar Rp 500 juta, tetapi itu bukan atas permintaannya.
“Saya memang menerima uang Rp 500 juta dari Budiono melalui Condro, tapi bukan saya yang minta, karena memang Budiono pingin menjadi Camat,” tukasnya.
Bantahan senada juga dilontarkan MKP untuk menyangkal sebagian dari keterangan Didik Chusnul Yakin. Ia mengaku pernah mengantongi upeti dari fee proyek di Dinas Kesehatan sebesar 13 persen, tetapi lupa nominal pastinya.
“Seingat saya menerima uang dari Didik Rp 650 juta. Dan yang Rp 100 dan Rp 200 juta saya lupa yang mulia,” ucapnya.
Pengakuan terdakwa MKP menjadi akhir sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Persidangan kasus TPPU ini akan dilanjutkan Kamis (10/2/2022) pekan depan. (im)