Adeline Budiarto berpose di depan karyanya

“Saya tidak mau menyerah oleh tekanan dosen yang kolot dan picik.” Suara Adeline Budiarto begitu lantang.

Adeline Budiarto sedang memproses kekaryaan di studionya, Pacet, Mojokerto
Adeline Budiarto sedang memproses kekaryaan di studionya, Pacet, Mojokerto

IM.com – ‎Di negeri ini, menjadi seniman bukan hanya perkara bakat dan kerja keras tetapi juga perjuangan melawan birokrasi kampus yang jumud, mandeg. Seolah seni hanya bisa diukur pakai kepala dosen penguji, bukan oleh integritas konsep dan keberanian menyampaikan realitas.

‎Kasus Adeline Budiarto, mahasiswa seni rupa, yang karya ujian akhirnya ditolak mentah-mentah oleh dua dosen penguji hanya karena tak sesuai dengan selera konservatif mereka menjadi titik penting untuk membuka borok lama di lembaga pendidikan tinggi seni. Semena-menanya para dosen yang gagal jadi seniman tapi merasa berhak menentukan siapa yang layak jadi seniman masa depan.

‎KEKERASAN UJIAN

‎Adeline tidak muncul dari ruang hampa. Sejak usia enam tahun, ia menekuni seni rupa dengan semangat yang nyaris obsesif. Dibimbing oleh Nanang Warhol, pelukis senior dari Mojokerto, dia tumbuh dalam lingkungan yang membina, bukan menghakimi.

‎Rekam jejaknya panjang dan teruji. Sejak tampil di Biennale Jogja pada usia 10 tahun bersama Nanang Warhol dkk, Adeline terus menanjak, melahap tugas-tugas kampus dengan rakus, menyimpan cadangan energi untuk menyongsong masa depan seninya pasca-kuliah.

‎Ketika ujian akhir tiba — di tengah pandemi dan krisis global — yang ia hadapi bukanlah ruang apresiasi melainkan palu penghakiman. Dua dosen penguji yang disebut tidak pernah menggelar pameran tunggal, tidak aktif dalam wacana seni nasional, kurang memahami seni rupa kontemporer kemudian menjadikan ruang ujian sebagai ruang intimidasi.

‎Bukannya membedah konsep lukisan yang mengangkat isu polarisasi politik dan intoleransi agama pasca-Pilpres 2019, Adeline justru dituduh ‘terlalu sering nonton bokep’ hanya karena banyak karyanya bernuansa nude art. Ini bukan sekadar kritik yang tidak ilmiah tapi ini penghinaan intelektual.

‎PERBANDINGAN LN

‎Tak berhenti di situ. Adeline bahkan diancam agar mengganti temanya jika ingin lulus. Di sinilah ironi pendidikan seni kita menganga lebar. Bukankah seni adalah cermin zaman, media untuk menyuarakan keresahan bahkan yang pahit sekalipun? Jika karya yang merekam sejarah kebangsaan dianggap “berbahaya” lalu apa gunanya kuliah seni selain melukis bunga dalam vas atau perahu di waktu senja?

‎Para penguji ini, yang konservatif secara agama dan oportunis secara sosial, tidak hanya menodai prinsip pendidikan tapi juga merusak kepercayaan diri generasi muda. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik, dimana kekuasaan akademik digunakan bukan untuk membina tapi menindas. Yang lebih menyakitkan lagi, penindasan ini dilakukan oleh orang-orang yang kredibilitas seninya patut dipertanyakan.

‎Coba bandingkan dengan Royal College of Art di London atau School of the Art Institute of Chicago. Di sana, mahasiswa bukan hanya bebas berekspresi tapi juga didorong untuk menggugat status quo. Pengujinya adalah praktisi aktif, seniman yang hidup dan bekerja di tengah gerak zaman. Kritik dilakukan secara konstruktif, bukan dengan kata-kata murahan yang menjatuhkan harga diri mahasiswa. Mengapa kampus seni di Indonesia tidak bisa mencontoh ini?

‎Jika pendidikan seni di negeri ini ingin tetap relevan maka janganlah membunuh semangat Adeline-Adeline lainnya. Karena bangsa ini tidak kekurangan bakat. Yang kurang adalah ruang yang membebaskan. ‎(kim)

199

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini