
IM.com – Tradisi bukan hanya warisan, tapi juga senjata kritik. Itulah yang dibuktikan Moelyono, perupa senior asal Tulungagung, di ArtSubs 2025 Balai Pemuda Surabaya (2 Agustus–7 September). Dengan simbol kempul, jagung, sabit, kerbau, dan api, ia meramu realisme tajam yang menelanjangi ketidakadilan hidup desa.
Lukisannya menolak romantisasi pedesaan. Sebaliknya, ia menghadirkan potret getir yang sarat pesan sosial, kerja keras petani, beban perempuan desa dan ancaman yang tak pernah padam.
Publik seni rupa masih mengingat, Moelyono pernah memicu kontroversi pada 1993 lewat instalasi bertema Marsinah yang dibubarkan aparat. Tiga dekade kemudian, semangat perlawanan itu tetap menyala di kanvasnya.

Di pameran kali ini, dua lukisan utama menjadi pusat perhatian. Figur perempuan tua dengan dada dipenuhi kempul, jagung dan rempah, berpadu dengan api di kaki dan sabit di kepala. Wajahnya tanpa senyum, hanya kepasrahan.
Sementara figur lelaki petani hadir dengan sabit terselip di pinggang, kerbau di sisi kepala, dan api di kaki namun kali ini disertai senyum pahit. Dua wajah ini seakan berbicara tentang hidup yang tak adil harus dihadapi, entah dengan diam atau dengan tawa getir.
Dua manusia desa telentang di atas daun pisang — antara kepasrahan dan senyum pahit — seolah berkata: “bertahan itu juga bentuk perlawanan.”
TRADISI MENDUNIA
Moelyono, lulusan ISI Yogyakarta (1985), sudah mengangkat denyut kehidupan desa sejak era Orde Baru. Pamerannya merambah Belanda, Thailand, Bangladesh, Hong Kong, Myanmar, dan berbagai kota di Indonesia. Meski melanglang, ia tak pernah meninggalkan akar tradisinya.
“Kalau ingin punya daya tarik kuat di level global, jangan lepaskan akar tradisi,” begitu pesan yang tercermin di setiap karyanya.
Melihat karya Moelyono di ArtSubs 2025 ibarat membaca puisi visual: tentang ketekunan, kesetiaan pada budaya, dan nyala api yang tak pernah padam — baik di kaki para tokoh lukisannya maupun di hati sang seniman sendiri. (kim)