
IM.com – Senirupawan internasional asal Tegal, Jawa Tengah, Dadang Christanto, kembali menyalakan kesadaran publik lewat karyanya. Dalam pameran ArtSubs 2025 di Balai Pemuda Surabaya (2 Agustus–7 September), dia menampilkan triptych berjudul “Jawa Dalam Samudra Sunyi” yang merefleksikan karamnya peradaban agraris Hindu Jawa akibat kalah dalam perang budaya berjubah agama.
Tiga bidang bersambungan – triptych berwarna dominan biru laut itu memadukan figur wayang, simbol Pawukon (kalender agraris Hindu Jawa), dan wajah manusia yang tenggelam. “Melalui karya, saya ingin mendokumentasikan apa yang kian dilupakan,” ujar Dadang.
Dadang bukanlah perupa yang menempatkan seni sekadar sebagai estetika lipstik. Sejak awal kariernya, dia jadikan seni rupa sebagai pernyataan sikap terhadap pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan politik maupun pengikisan budaya.

Latar kehidupannya memberi jejak luka kolektif. Ayahnya menjadi korban peristiwa politik 1965. Dari tragedi itulah karya-karyanya lahir dengan denyut kemarahan yang tertahan sekaligus empati yang tak pernah habis.
Instalasi bambu dengan foto orang hilang, figur kepala manusia, hingga tubuh-tubuh berlumpur adalah cara Dadang mengajak publik melawan lupa.
Nama Dadang telah menggema di panggung seni rupa internasional. Ia pernah tampil di Venice Biennale (2003), Gwangju Biennale (2000), Bienal de São Paulo (1998), hingga Sydney Biennale (2010). Jejak itu menempatkan karyanya sejajar dengan seniman besar dunia yang menjadikan seni sebagai alat perjuangan kemanusiaan seperti Pablo Picasso, Ai Weiwei, Frida Kahlo dan Käthe Kollwitz.
MEMBACA GAMBAR
Karya terbaru Dadang menghadirkan atmosfer laut dalam yang sunyi, misterius, penuh simbol. Dominasi biru bukan sekadar estetika melainkan simbol kedalaman sejarah sekaligus tenggelamnya peradaban.
Fragmen wayang dan Pawukon menjadi metafora khazanah agraris Hindu Jawa yang kian punah. Sedangkan wajah manusia tenggelam menggambarkan pusat peradaban yang kini terbenam, seakan tak lagi bernafas di ruang sosial yang dilahirkannya.
“Melalui seni, saya ingin mengingatkan bahwa pelanggaran HAM tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga penghapusan identitas budaya,” tegasnya.
Bagi Dadang, jarak dari tanah kelahiran justru memperjelas pandangan. Dari Australia, ia melihat Jawa bukan sekadar kenangan, melainkan medan pertarungan memori dan peperangan budaya.
Lewat “Jawa Dalam Samudra Sunyi”, Dadang mengingatkan bahwa bangsa yang melupakan tragedi kemanusiaan dan mengabaikan warisan budayanya, pada dasarnya sedang merelakan jantung peradaban tenggelam tanpa perlawanan. Kalah!! (kim)