Suasana Sharing Session yang diikuti oleh para aktivis kemanusiaan dari seluruh Indonesia di Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto.

IM.com – Kepemimpinan perempuan kerap dipandang sekadar isu kesetaraan, padahal sejatinya menjadi kunci perubahan sosial yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan.

‎Hal ini disampaikan Ririn Hayudiani, pendiri sekaligus Direktur Eksekutif lembaga pemberdayaan masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Aktivis perempuan tersebut tampil sebagai narasumber diskusi tematik yang diinisiasi YAKKUM Emergency Unit (YEU) bersama mitra kemanusiaan Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto Jawa Timur (01/10/2023)

‎Lebih dari 28 tahun aktif mengorganisir kelompok perempuan akar rumput di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara, hingga Pulau Sumbawa.

‎Menurut Ririn, pendekatan Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) tidak boleh berhenti sebagai jargon, melainkan menjadi pisau analisis, strategi sekaligus tujuan pembangunan

‎“Kepemimpinan perempuan mampu mengidentifikasi persoalan keluarga, komunitas, hingga negara, serta membongkar budaya patriarki yang diskriminatif,” ujarnya.

‎Jejak Panjang

‎Ririn dikenal sebagai inisiator Musrenbang Perempuan dan penggerak Sekolah Perempuan di NTB, yang membekali masyarakat dengan pendidikan kritis, kemandirian ekonomi, hingga advokasi kebijakan. Ia juga menggagas lembaga keuangan mikro berbasis komunitas pesisir serta terlibat dalam berbagai program strategis seperti INKLUSI, Gender Watch dan ToGETHER.

‎Upaya tersebut membuktikan bahwa perempuan bukan sekadar objek pembangunan tetapi aktor utama perubahan sosial.

‎Meski banyak capaian, Ririn menyoroti masih terbatasnya peran perempuan dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Hal ini berimplikasi serius, terutama dalam situasi pengungsian yang sering dirancang tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan, anak, penyandang disabilitas maupun kelompok rentan.

‎“Pengungsian yang dikonsep laki-laki umumnya fokus pada logistik, tenda dan beras. Padahal, kebutuhan sanitasi, kesehatan reproduksi hingga perlindungan dari kekerasan berbasis gender kerap terabaikan,” kritiknya.

‎Menurutnya, kebijakan penanggulangan bencana terlalu berorientasi pada infrastruktur dan mengabaikan dimensi sosial. GEDSI sering diposisikan sekadar formalitas, bukan implementasi nyata.

‎GEDSI, Fondasi Indonesia Emas

‎Ririn menekankan, keberhasilan pembangunan nasional hanya mungkin tercapai bila partisipasi perempuan dan kelompok rentan diakui sebagai prasyarat, bukan pelengkap.

‎Hal ini sejalan dengan Permendes No. 19/2017 yang menempatkan pemberdayaan perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat marjinal sebagai prioritas penggunaan Dana Desa.

‎Ia mendorong agar strategi Pengarusutamaan Gender dan Inklusi Sosial (PUGIS) terintegrasi dalam RPJMN/D dan Renstra K/L/OPD 2025–2029. Langkah ini penting untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045 sekaligus pencapaian SDGs 2030 terkait kesetaraan gender dan masyarakat inklusif.

‎Pesan yang ditawarkan Ririn bersifat kritis sekaligus edukatif. Menyingkirkan perempuan dari ruang keputusan hanya akan melahirkan pembangunan timpang. Sebaliknya, memperkuat kapasitas perempuan akar rumput akan menumbuhkan ketangguhan kolektif dalam menghadapi bencana, perubahan iklim, dan krisis sosial-ekonomi.

‎“Kesadaran kritis dan kepemimpinan perempuan yang responsif GEDSI adalah fondasi masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Itulah investasi sosial yang harus kita perjuangkan,” tutur Ririn.

‎Edukasi yang ditawarkan menekankan bahwa kesetaraan gender adalah prasyarat, bukan pelengkap, bagi pembangunan inklusif menuju Indonesia Emas 2045. (kim)

26

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini