IM.com – Di antara hiruk pikuk pameran Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Nasional 2025 di Kota Mojokerto, Jawa Timur, dua sosok perempuan terlihat sibuk berpindah dari satu stan ke stan lain. Sesekali mereka berhenti mencatat, berbincang hangat dengan narasumber, lalu beranjak lagi ke titik berikutnya.
Mereka adalah Diva Widyaningtyas dan Imrotul Ummah, aktivis dari Yayasan Resilien Nusantara (Yaren), yang datang dengan misi besar: merintis peta kolaborasi baru untuk program Sekolah Aman Bencana (SPAB) tahun 2025/2026.
Mereka tidak membawa spanduk besar atau program megah. Hanya buku catatan, daftar pertanyaan, dan niat kuat untuk menyatukan potensi. Namun dari langkah sederhana itulah, harapan besar tentang masa depan pendidikan kebencanaan mulai dirajut.
Kehadiran Yaren di PRB tahun ini bukan sekadar partisipasi simbolik. Lewat tim kecil yang dipimpin Diva dan Ima, mereka melakukan observasi lapangan, wawancara terstruktur, dan pengumpulan data publik untuk memahami siapa saja pihak yang terlibat dalam ekosistem SPAB, mulai dari pelaksana kegiatan seperti ToT/TOF, evaluator, penyedia konten edukatif, hingga penyandang dana dari berbagai sumber.
“Kami ingin melihat gambaran utuh, siapa melakukan apa, di mana, dan dengan sumber daya seperti apa. Dari situ, kolaborasi bisa dibangun secara lebih strategis,” jelas Diva sambil menunjukkan catatan yang mulai penuh dengan hasil temuan.
Yaren juga menelusuri jalur pendanaan yang mungkin digarap bersama, mulai dari APBN, APBD, CSR, hingga inisiatif swadaya masyarakat. Semua informasi itu akan menjadi bahan utama untuk merancang rencana kolaborasi lintas sektor yang lebih konkret ke depan.
Ima menegaskan, misi Yaren bukan untuk membandingkan atau mengkritik kinerja pihak lain. Analisis dilakukan secara agregat dan beretika, dengan tujuan membaca kekuatan ekosistem, bukan mencari kelemahan.
“Pemetaan ini ibarat menyusun potongan puzzle. Masing-masing punya bentuk dan peran sendiri. Tugas kami adalah menyatukan semuanya agar gambarnya utuh,” ujarnya.
Dari hasil pemetaan itu, Yaren menargetkan terbentuknya daftar mitra prioritas yang akan diajak berkolaborasi setelah kegiatan PRB usai. Mereka akan mengundang Dinas Pendidikan, BNPB, BPBD, lembaga filantropi, komunitas NGO, hingga sektor korporasi untuk berbagi data program dan menyusun rencana bersama yang bisa diukur hasilnya.

Bagi Yaren, sekolah bukan hanya tempat anak-anak menimba ilmu akademik, tetapi juga arena pertama mereka belajar tentang kesiapsiagaan. Dengan memperkuat program SPAB, sekolah dapat menjadi pusat pengetahuan dan latihan menghadapi bencana bagi peserta didik, guru, bahkan masyarakat sekitar.
“Jika sekolah kuat, maka masyarakatnya pun akan lebih siap. Di sinilah pentingnya kerja bersama,” ujar Diva.
Karena itu, Yaren berkomitmen menjadi penghubung antarpihak agar program SPAB tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling melengkapi. Peran Yaren bukan sebagai pelaksana tunggal, melainkan sebagai fasilitator kolaborasi yang mempertemukan pelaksana, penyandang dana, dan penyedia konten dalam satu kesatuan gerak.
Apa yang dilakukan Yaren di Mojokerto mungkin terlihat sederhana, sekadar observasi dan pengumpulan data. Namun dari langkah kecil itu, mereka sedang menyiapkan pondasi penting bagi masa depan SPAB di Indonesia.
Sebagai lembaga nirlaba yang berfokus pada edukasi kebencanaan, inklusi, dan penguatan kapasitas komunitas, Yaren percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kerja kolaboratif yang terencana dengan baik.
Dan perjalanan menuju sekolah-sekolah yang lebih siap menghadapi bencana kini sudah dimulai dari satu langkah kecil, dari satu peta peluang, dari satu niat untuk menyulam masa depan bersama. (sut/wid)