IM.com – Dua petinggi perusahaan tower telekomunikasi merasa diperas oleh Bupati nonaktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP). Selama 2 tahun, Bupati MKP tak kunjung menyetujui pengurusan izin dari PT Protelindo dan PT Tower Bersama Grup (TBG) sampai pihak rekanan membayar fee Rp 200 juta per tower.
Fee yang disyaratkan Bupati MKP itu memaksa PT Protelindo dan PT Tower Bersama Grup akhirnya rela menggelontorkan duit total Rp 4,4 miliar, masing-masing Rp 2,2 miliar untuk 11 titik tower per perusahaan.
Hal ini disampaikan dua terdakwa yakni Permit and Regulatory Division Head PT Tower Bersama Grup (TBG), Ockyanto dan Direktur PT Protelindo Onggo Wijaya dalam nota pembelaannya (pledoi).
“Saya sebenarnya tidak ingin memberi uang (suap), itu bukan inisiatif saya. Saya diperas, terpaksa saya lakukan karena resikonya IMB tidak akan pernah terbit jika menolak permintaan tersebut,” kata Ockyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Surabaya, Rabu (27/3/2019).
Pengakuan ini sesuai dengan keterangan sejumlah saksi pada sidang Bupati MKP beberapa waktu lalu. Para saksi mengungkapkan bahwa perusahaan diminta memberikan sejumlah uang untuk mempermudah perizinan.
Perizinan yang dimaksud yakni Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB).
Bahkan MKP disebut sempat meminta fee Rp 300 juta per titik. Tetapi setelah negosiasi, angka tersebut turun menjadi Rp 200 juta. (Baca: Dari Dugaan Total Suap Rp 2,74 M untuk MKP, Rp 2,2 M Disetor Lewat Kabag Umum).
Kuasa hukum Ockyanto, Stefanus Harjanto menguatkan pembelaan kliennya. Ia mengatakan, PT Tower Bersama Grup sejatinya sudah berupaya mengurus IMB sesuai prosedur yang benar. Namun upaya itu justru tak mendapat sambutan baik dari pihak Pemkab Mojokerto.
Indikatornya, izin yang diurus PT TBG maupun PT Protelindo selama 2 tahun tak kunjung terbit. Seretnya pengurusan izin itu rupanya ada embel-embel syarat yang harus dipenuhi pihak rekanan yakni membayar fee.
“Jadi yang terjadi sebenarnya adalah pemerasan, bukan penyuapan. Pemerasan ini juga sempat disebutkan oleh salah satu majelis hakim pada sidang sebelumnya,” tegas Stefanus.
Ia pun menepis argumen Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam tuntutannya bahwa alasan ‘terpaksa’ tidak dapat diterima oleh hukum. Sebab masih terdapat pilihan lain untuk menghindari pelanggaran hukum (penyuapan), tetapi tidak dilakukan oleh para terdakwa.
Pilihan yang dimaksud jaksa adalah melaporkan permintaan uang oleh MKP kepada penegak hukum. Menurut Stefanus, pendapat itu sama sekali tidak realistis mengingat status Bupati MKP sebagai ‘penguasa Mojokerto’ saat itu yang sedang dalam puncak kekuasaannya.
“Melaporkan (Bupati MKP, red) ke penegak hukum malah perbuatan konyol, resikonya dituntut balik dengan tuduhan fitnah. Lebih dari itu, laporan hukum akan berdampak pada semua tower di Mojokerto off air, dan timbul kerugian besar,” tandasnya.
Senada diungkapkan kuasa hukum Onggo Wijaya, Gunadi. Ia menyebutkan, kliennya pemerasan yang dialami kliennya bisa dilihat dari sejumlah surat elektronik yang menyatakan MKP meminta sejumlah uang.
“Bukti itu juga sudah dibeber di persidangan. Pak Ongko menjadi korban dari perilaku pejabat yang koruptif,” ujar Gunadi.
Karena itu, Gunadi menegaskan, dakwaan JPU terhadap kliennya tidak terbukti. (JPU) KPK dalam tuntutan di sidang sebelumnya menilai terdakwa melakukan tindakan suap yang melanggar pasal 5 ayat 1 a Jo 55 ayat 1 ke 1 UU nomor 21 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. (Baca: Dua Terdakwa Penyuap MKP Dituntut 3,5 Tahun dan Kembalikan Uang Korupsi).
JPU pun tetap pada dakwaan dan tuntutannya itu. Meski para terdakwa dalam pledoinya menyatakan telah diperas.
“Kami tetap pada tuntutan yang telah kami sampaikan pada 22 maret lalu,” tegas jaksa KPK Taufiq Ibnugroho .
Dalam sidang hari ini, lima terdakwa membacakan nota pembelaannya. Selain Octyanto dan Onggo Wijaya, ada tiga terdakwa lain yang berperan sebagai perantara suap yang menyampaikan pledoinya yakni Achmad Subhan, Achmad Suhawi dan Nabiel Tirtawano.
Dua nama perantara suap pertama yang disebut tadi dituntut lebih berat dari dua tiga terdakwa lain yakni 3,5 tahun penjara. Adapun Octyanto, Onggo Wijaya dan Nabiel Tirtawano dituntut 3 tahun.
“Terdakwa atas nama Achmad Suhawi dikenakan wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 250,11 juta. Jika dalam waktu yang ditentukan tidak mampu membayar, maka harta bendanya akan disita sesuai dengan uang pengganti. Apabila hartanya tidak mencukupi terdakwa harus mengganti dengan 1 tahun penjara,” kata JPU Taufiq saat mmbacakan tuntutannya di Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu lalu (20/3/2019). (im)