IM.com – Gejolak yang kembali meletup di eks lokalisasi Jarak-Dolly membuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani gerah. Risma menegaskan tak akan membuka kembali lokalisasi yaag pernah menjadi wisata syahwat terbesar se-Asia Tenggara itu meski harus menuai gugatan, bahkan jika nyawanya dibunuh sekalipun.
Risma menegaskan, bahwa dirinya tidak akan mundur untuk mempertahankan Jarak-Dolly dari serbuan kelompok yang menginginkan dibukanya kembali lokalisasi di kawasan itu. Ia akan melawan pihak manapun yang mengusik wilayah Jarak-Dolly dan sekitarnya yang kini sudah tenang. Komitmen itu akan dipegang Risma bahkan jika harus mempertaruhkan jiwa raganya.
“Kalau memang mau itu (terus berulah), bunuh saya biar selesai. Tapi saya tidak ikhlas kalau anak-anak Surabaya hancur,” cetus Risma usai memberikan kuliah tamu di Universitas Surabaya (Ubaya), Jumat (7/9/2018). Walau demikian, Risma tidak ingin namanya dikenang sebagai walikota yang berhasil memberangus praktik prostitusi di Dolly.
Walikota perempuan pertama di Surabaya itu kembali mengingatkan pentingnya penutupan lokalisasi Dolly demi masa depan anak bangsa di kawasan tersebut. Menurutnya, tatkala protitusi dan dunia malam di Dolly masih mengeliat, kondisi moral anak-anak di kawasan Jarak, Putat Jaya dan sekitarnya sungguh sangat memprihatinkan.
“Kalau tahu ceritanya mengerikan sekali, tapi saya tidak ingin cerita itu. Yang sudah ya sudah, ayo kita mulai bersama-sama, masalah ini mari kita selesaikan. Kita harus tahu ada yang harus diselamatkan, karena masa depan bangsa ini, kota ini ada di tangan anak-anak termasuk anak di Dolly,” ungkapnya saat ditemui.
Karena itu, Risma tidak ingin kehilangan generasi penerus karena anak-anak di Surabaya hanya untuk menuruti hasrat sekelompok orang. Dikatakannya, generasi muda dari Suarabaya harus bisa bersaing dengan bangsa lain.
“Kalau kemudian anak se-Surabaya punya masalah, bagaimana kita bisa menang dengan bangsa lain. Ini demi warga Surabaya. Karena anak di Dolly sekolah di tempat lain dan dia akan mempengaruhi anak di tempat lain, kalau kita putus, akan berhenti. Kalau tetap lanjut kita akan loss generation,” paparnya.
Kekesalan Risma ini setelah munculnya dua kubu yang sama-sama mengklaim warga Jarak-Dolly. Kelompok yangh menamakan diri Forum Komunikasi Warga Jarak Dolly (Forkaji) di Jarak-Dolly melayangkan gugatan class action terhadap Pemkot Surabaya ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Mereka menuntut Pemkot membuka kembali lokalisasi Dolly dan membayar ganti rugi kepada warga yang sudah kehilangan mata pencaharian akibat penutupan Dolly sebesar Rp 270 miliar. Pihak penggugat menganggap kompensasi yang diberikan pemkot berupa pendirian usaha kecil menangah (UKM) seperti sentra Batik dan Sepatu bagi warga Jarak ternyata tidak bisa mensejahterahkan warga seperti sebelumnya.
Gugatan ini kemudian ditentang keras oleh kelompok warga lain yang tergabung dalam Forum Pekerja Lokalisasi (FPL). Forum ini menyebut, Forkaji hanya sekelompok orang yang mengatasnamakan warga Jarak. Forkaji ditunggangi kelompok tertentu yang berhasrat agar lokalisasi Dolly kembali dibuka. (Baca: Warga Dolly Tandingi Kelompok Lain, Tolak Class Action dan Tuntutan Ganti Rugi).
Akhirnya, pada putusannya majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, tetap menolak gugatan dari Forkaji. Majelis menyebutkan, PN tidak berwenang menyidangkan gugatan class action terhadap Pemkot Surabaya. Karena yang lebih tepat, gugatan tersebut seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain itu, gugatan yang diajukan Forkaji juga tidak memenuhi syarat class action.
“Sebab, gugatan menyangkut hubungan antara Pemkot Surabaya dengan kelompok warganya yang merasa dirugikan akibat kebijakannya,” kata Ketua Majelis Hakim Dwi Winarko. (bet/im)