IM.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap duit suap Rp 3,45 miliar dari total Rp 7 miliar yang diterima Bupati Malang Rendra Kresna dialirkan untuk membayar utang ke cukong yang mengongkosi kampanyenya di Pilkada 2010-2015. Fakta tersebut sangat mungkin berkembang dari hasil penyidikan KPK terhadap delapan orang saksi hari ini, Sabtu (13/10/2018).
Pemeriksaan terhadap delapan saksi terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi Rendra Kresna dilakukan di Mapolres Kabupaten Malang, Jawa Timur.
“Sabtu, 13 Oktober 2018, KPK lanjutkan pemeriksaan terhadap delapan orang saksi di Polres Kabupaten Malang,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Sabtu (13/10/2018).
Kedelapan saksi merupakan pejabat pemkab tiga orang yakni Kepala Badan Kepegawaian Daerah (Bapend) Kabupaten Malang Willem Petrus Salamena, Kabag TU Sekda Henry MB Tanjung, dan Kepala Seksi Wahyudi. Serta lima orang pihak swasta yaitu Ubaidillah, Choiriyah, Moh Zaini Ilyas, Hadaningsih, dan Hari Mulyanto.
“Hingga hari ini sekitar 18 saksi diperiksa, dan 23 lokasi di Kabupaten Malang digeledah dalam 2 perkara di tingkat penyidikan, yaitu dugaan suap dan gratifikasi,” jelas Febri.
KPK menjerat Bupati Malang Rendra Kresna dalam dua sangkaan kasus sekaligus dengan total uang yang dikantonginya sebesar Rp 7 miliar. Untuk suap, KPK menjerat Rendra beserta pihak swasta bernama Ali Murtopo.
Rendra diduga menerima suap dari Ali Murtopo sebesar Rp 3,45 miliar terkait penyediaan sarana penunjang peningkatan mutu pendidikan pada Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Malang.
Uang yang diterima Rendra dari Ali itu diduga akan digunakan untuk pembayaran utang dana kampanye yang dikeluarkan untuk pemenangan Rendra saat maju menjadi Bupati Malang periode 2010-2015.
”Setelah bupati menjabat dilakukan proses pengumpulan fee proyek di Kabupaten Malang, untuk kebutuhan pembayaran utang dana kampanye yang sudah dikeluarkan sebelumnya,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta.
Rendra diketahui maju sebagai calon bupati bersama wakilnya Ahmad Subhan pada Pilkada Kabupaten Malang 2010. Rendra dan Subhan diusung Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah selesai satu periode, Rendra kembali maju pada Pilkada 2015. Saat itu Rendra menggandeng Sanusi sebagai calon wakil bupati. Rendra dan Sanusi yang diusung Partai Golkar, PKB, Partai NasDem, PPP, Gerindra, Partai Demokrat, serta PKS berhasil menang lagi.
Ketika menjabat pada periode pertamanya itu, Rendra mengincar proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, yang saat itu mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan di tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Perhatian utamanya tertuju pada proyek pengadaan buku dan alat peraga pendidikan tingkat SD serta SMP.
”Dalam melakukan perbuatannya RK diduga bersama-sama dengan mantan tim suksesnya saat pilkada pada tahun 2010 (Ali Murtopo) dilakukan dan berupaya mengatur proses lelang pada pengadaan barang dan jasa secara elektronik,” ujar Saut.
Rendra sebagai penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ali yang diduga sebagai pemberi suap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi, mantan Ketua DPW Partai NasDem Jatim ini dijerat bersama dengan pihak swasta bernama Eryk Armando Talla. Keduanya diduga menerima gratifikasi sekitar Rp 3,55 miliar terkait beberapa proyek di Pemkab Malang selama Rendra menjabat bupati dua periode.
”Penerimaan gratifikasi oleh RK dan EAT (Eryk Armando Talla) diduga terkait dengan sejumlah proyek di dinas Kabupaten Malang,” kata Saut.
Untuk kasus ini, Rendra dan Eryk dijerat Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (put/im)