IM.com – Gubernur Jawa Timur Soekarwo resmi menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2019 untuk 38 daerah di Provinsi Jatim. Kota Surabaya tetap memiliki UMK tertinggi Rp 3,871 juta, naik sekitar Rp 300 ribu dibanding tahun 2018 yang masih Rp 3,583 disusul empat daerah di ring 1 yakni Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Pasuruan dan Mojokerto yang juga mengalami kenaikan sekitar 8 persen.
Rincian UMK di ring 1, Kabupaten Gresik sebesar Rp 3,867 juta, Sidoarjo Rp 3,864 juta, Kabupaten Pasuruan Rp 3,861 juta, serta Kabupaten Mojokerto dari Rp 3,565 juta di tahun 2018 menjadi Rp 3,851 juta. Sedangkan Kota Mojokerto yang berada di ring 2 ditetapkan sebesar Rp 2,263 juta.
Sedangkan, untuk nilai UMK terendah terdapat sembilan kabupaten yang memiliki besaran sama, yaitu Rp 1,763 juta masing-masing Kabupaten Sampang, Situbondo, Pamekasan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek serta Magetan. (Selengkapnya lihat tabel).
Besaran UMK ini disahkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur pada Kamis (15/11/2018) malam dan berlaku mulai 1 Januari 2019.
“Pengumumannya melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/665/KPTS/013/2018 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2019 tertanggal 15 November 2018,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Setdaprov Jatim Aries Agung Paewai, Jumat (16/11/2018).
Pada surat keputusan tersebut dijelaskan sejumlah pertimbangan kenaikan UMK di Jatim 2019. Pertama, kenaikan UMK 2019 ini sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya masyarakat pekerja.
Penetapan UMK 2019 ini sesuai ketentuan Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Menanggapi UMK 2019 yang ditetapkan Gubernur Soekarwo ini, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jatim, masih menyoroti tingginya disparitas antar wilayah yang dibagi menjadi wilayah ring 1. Menurut Fauzi, masih terjadi perbedaan besaran upah yang sangat jauh antara ring 1 dengan daerah lain.
“Kota Pasuruan yang hanya dibedakan jalan saja dua jengkal dengan Kabupaten Pasuruan perbedaan upahnya mencapai setengahnya. Kabupaten Pasuruan Rp 3,8 juta sekian, tapi Kota Pasuruan hanya Rp 1,9 juta sekian. Inilah yang kita sebut disparitas,” tegas Fauzi.
Fauzi menilai, jika disparitas ini terus berlanjut, akan berdampak serius pada tingkat perekonomian masyarakat daerah di luar ring 1 yang selamanya berada di garis kemiskinan. Makanya, kata Fauzi, perlu ada diskresi dari gubernur.
“Jangankan yang di Lamongan, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto dan lain-lain, rakyat Pacitan, Magetan (ring 4) dengan upah terendah selamanya akan miskin. Mereka tidak boleh sakit karena upah mereka sangat jauh dengan ring 1,” cetus Fauzi.
Mengenai penetapan upah minimum ini, Fauzi memberikan sinyal bahwa kenaikan tahun ini, pada ring 1 akan tetap sesuai dengan PP 78. Sedangkan ring di luarnya akan mengalami diskresi dengan keputusan naik 16 hingga 20 persen, yang berarti di luar PP 78.
Pihaknya mengaku, usulan tersebut dia sampaikan pada gubernur dengan idealisme yang tidak berusaha membunuh industri. Upaya yang dia lakukan sebelumnya telah melakukan rapat besar untuk berkoordinasi dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur dengan hasil menolak keputusan.
“Saya sampaikan ke dunia usaha, ini (kenaikan,red) tidak ngefek. Melihat perusahaan rokok yang di Surabaya saja, mereka berupaya menggaji karyawannya sesuai UMK di ring 1. Di sisi lain, ada perusahaan rokok di ring lain yang harga rokoknya sama, tapi gaji pegawainya jauh di bawah UMK ring 1,” tambahnya.
Untuk itu, Fauzi mengatakan, surat keputusan yang akan ditandatangani gubernur mengenai rencana penetapan upah minimum di Jawa Timur ini berpihak pada rakyat dengan tidak membunuh industri pengusaha.
Gubernur Soekarwo pun menaruh perhatian pada terjadinya disparitas upah antara kawasan industri yang berada di ring 1 dengan daerah lain. Gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo mengatakan disparitas ini harus ditekan sekecil mungkin.
Ia mencontohkan perbandingan UMK Kota Surabaya atau ring I sebesar Rp 3,8 juta dengan Ngawi, Pacitan, Trenggalek atau Magetan yang hanya berkisar Rp 1,6 juta.
“Pada prinsipnya keputusannya adalah mendekatkan. Jika menggunakan rumus PP nomor 78 tahun 2015, katakanlah 8,03 persen, disparitas itu makin jauh. Untuk itu harus diintervensi dengan kebijakan pemerintah,” tutur gubernur. (im)