IM.com – Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya saat ini tengah menghadapi masalah serius terkait penumpukan sampah di area pesisir. Abdul Devid Fatah Mubarok, Humas dari Ekowisata Mangrove Wonorejo, menjelaskan bahwa sampah yang terbawa dari hulu sungai menuju hilir menjadi tantangan utama yang harus dihadapi setiap hari.

“Sampah-sampah yang terbawa dari hulu memenuhi kawasan hilir ini dengan berbagai jenis sampah,” kata Devid dalam wawancara dengan tim LindungiHutan.

Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini menyebabkan sampah yang sudah mencapai pesisir tidak dapat kembali ke laut, meskipun area laut terlihat lebih bersih. Oleh karena itu, penting untuk menanam mangrove di pinggiran pantai guna mencegah dampak lebih lanjut.

Untuk menjaga kebersihan kawasan, tim dari Lembaga Ekowisata Mangrove Wonorejo melakukan pembersihan sampah hampir setiap hari. Pembersihan tersebut melibatkan sekitar 7 hingga 8 orang dalam setiap kegiatannya, dan beberapa kali mereka bekerja sama dengan kampus-kampus di Surabaya.

“Kami melakukan pembersihan 3 hingga 4 kali selama hari aktif dengan tim internal kami sendiri. Tim kami terdiri dari sekitar 7-8 orang, yang bekerja sama dengan komunitas pecinta lingkungan dan mahasiswa dari beberapa kampus di Surabaya seperti Unair, ITS, dan UPN Surabaya melalui kerjasama MoU yang telah dilakukan,” jelasnya.

Berdasarkan penelitian mahasiswa ITS, jumlah sampah yang terkumpul di kawasan pesisir Ekowisata Mangrove Wonorejo sangat besar. “Pada ketinggian air 2,7 meter, sampah yang terkumpul mencapai 1,2 ton, setara dengan 60-70 karung sampah per hari,” kata Devid.

Sampah yang menumpuk tidak hanya mempengaruhi estetika lingkungan, tetapi juga berdampak pada kelangsungan hidup mangrove di kawasan tersebut. “Keberhasilan penanaman mangrove sangat bergantung pada pembersihan sampah. Jika sampah tidak dibersihkan, mangrove tidak akan tumbuh dengan baik karena runti lebih tertarik pada bambu daripada mangrove,” tambahnya.

Ia juga menyebutkan bahwa di Ekowisata Mangrove Wonorejo, mangrove banyak yang mati akibat sampah yang terbawa ke kawasan pesisir. “Sebagian besar mangrove di Indonesia mati karena gangguan runti. Di sini, mangrove mati karena sampah.”

Di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo terdapat tiga jenis mangrove utama, yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora apiculata. “Ketiga jenis mangrove ini berperan penting sebagai sabuk hijau yang kuat untuk menahan gelombang pasang surut air laut,” jelasnya.

Selain masalah sampah, kawasan ini juga dihadapkan dengan tantangan abrasi. “Kami rutin melakukan kegiatan restorasi atau reboisasi untuk mencegah degradasi tanah lebih lanjut. Kami juga menggunakan peralatan tradisional seperti terucuk bambu untuk melindungi mangrove dari ombak besar. Bambu ini bisa bertahan hingga dua tahun, memberikan waktu bagi mangrove untuk beradaptasi dan tumbuh dengan baik,” katanya.

Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan, Lembaga Ekowisata Mangrove Wonorejo terus berkomitmen untuk melestarikan lingkungan pesisir dan menjaga kelangsungan hidup mangrove di kawasan tersebut. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan institusi pendidikan, sangat diperlukan untuk menjamin kesuksesan program restorasi lingkungan ini.

Tentang LindungiHutan

LindungiHutan adalah sebuah start-up lingkungan yang fokus pada aksi konservasi hutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Hingga kini, 848 ribu pohon telah ditanam bersama 547 brand dan perusahaan. LindungiHutan bekerja sama dengan masyarakat lokal di 50 lokasi penanaman yang tersebar di seluruh Indonesia, dan menawarkan berbagai program seperti The Green CSR, Collaboratree, serta program Carbon Offset.

19

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini