Para petinggi PT Pertamina Patra Niaga dan pihak swasta yang menjadi tersangka korupsi pembelian impor dan pengoplosan BBM Pertamax.

IM.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus pengoplosan Pertamax bukan hanya dari Pertalite (Ron 90), tetapi juga jenis Premium (Ron 88) menjadi Ron 92. Skandal blending bahan bakar minyak (BBM) di PT Pertamina Patra Niaga, subholding PT Pertamina (Persero), ini ditaksir merugikan negara hingga Rp 968,5 Triliun dalam 5 tahun.

Terkuaknya oplosan Premium menjadi Pertamax setelah Kejaksaan Agung menjerat dua tersangka baru yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya serta VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne. Keduanya diduga melakukan transaksi pembelian impor BBM RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92.

“Sehingga hal itu menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar.

Kemudian, tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 92.  Proses pengoplosan tersebut, kata Qohar, dilakukan di terminal atau storage PT Orbit Terminal Merak milik tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ).

MKAR adalah anak raja minyak M Riza Chalid yang menjadi beneficial owner  PT Navigator Khatulistiwa. Sedangkan GJR ialah Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Selain itu, tersangka Maya Kusmaya dan Edward Corne melakukan pembayaran impor produk kilang dengan menggunakan metode spot atau penunjukan langsung harga saat itu. Sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha.

“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” ujar Qohar.

Padahal, kata Qohar, seharusnya pembayaran dilakukan dengan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka sehingga diperoleh harga yang wajar. Dia menyebut, kedua tersangka tersebut mengetahui dan menyetujui adanya penggelembungan nilai dalam kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum. Fee tersebut diberikan kepada tersangka MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa.

Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini korupsi impor dan pengoplosan BBM Pertamax yang berlangsung selama lima tahun, 2018-2023. Mereka yakni Maya Kusmaya dan Edward Corne, Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, Yoki Firnandi, Agus Purwono, Muhammad Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo.

“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih,” ujar Harli di Jakarta, Rabu (26/2/2025).

Jika rata-rata per tahun kerugian sebesar itu, maka dalam lima tahun skandal pengoplosan BBM Premium dan Pertalite menjadi Pertamax ini merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun atau hampir 1 kuadriliun.

“Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp 193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara,” ujar Harli.

Dalam kasus ini, Kejagung mencatat lima komponen utama yang menyebabkan kerugian negara. Yakni kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri  Rp 35 triliun, Impor Minyak Mentah melalui Broker Rp 2,7 triliun. Serta Kerugian Impor BBM melalui Broker Rp 9 triliun,  Pemberian Kompensasi Rp 126 triliun dan Pemberian Subsidi Rp 21 triliun. (imo)

 

33

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini