IM.com – Di tengah riuh demonstrasi berbulan-bulan, nama Salsa Erwina Hutagalung melesat. Diaspora Indonesia berdarah Batak yang kini bermukim di Aarhus, Denmark, menjadi sosok penting bagi gerakan mahasiswa, buruh, pelajar, hingga masyarakat miskin kota yang turun ke jalan.
Melalui media sosial, Salsa mengirimkan semangat lintas benua: tajam, cerdas, penuh keberanian. Ia menyoroti betapa negara sedang berada di titik kritis, dikuasai pembohong berdasi dan membutuhkan keberanian generasi baru untuk melawan.
*Jejak Akademik dan Karier*
Lahir 23 Maret 1992, Salsa adalah lulusan terbaik UGM. Prestasinya mengesankan: juara debat Asia Pasifik di Nanyang (2014), delapan besar dunia di Berlin (2012) dan aktif di forum akademik internasional.
Karier profesionalnya kini berlabuh sebagai Strategy Manager di Vestas, perusahaan energi global. Ia juga host podcast Jadi Dewasa 101, yang membahas pengembangan diri dan kesehatan mental.
Salsa pernah mengkritik keras kenaikan pangkat aparat yang terluka saat demo. Baginya, penghargaan harus didasarkan pada kinerja, bukan sekadar balas jasa. Kritik itu viral, memperkuat citranya sebagai suara kritis.
Namun, kritiknya tak disukai semua pihak. Ada yang mengirim surat ke kantornya di Denmark, menuduhnya provokator. Perusahaan justru menilai hal itu sebagai pelecehan dan mendukung penuh kebebasan berekspresi.
Agustus 2025, Salsa mengguncang publik dengan menantang debat anggota DPR Ahmad Sahroni, setelah sang legislator menyebut tuntutan bubarkan DPR sebagai “orang tolol sedunia.” Meski tantangan ditolak, keberanian Salsa semakin melekat di benak publik.
*17+8 Tuntutan Rakyat*
Salsa bersama figur muda lain merumuskan “17+8 Tuntutan Rakyat,” dari pembekuan gaji DPR hingga reformasi TNI, Polri serta partai politik. Inisiatif ini menjadi tonggak penting konsolidasi gerakan sipil.
Bagi Salsa, siapa pun boleh memimpin Indonesia, asal memiliki integritas, keberanian, dan keberpihakan pada rakyat kecil. “Kalau punya itu semua, aku akan dukung siapa pun jadi presiden,” tegasnya.
Salsa Erwina kini menjadi ikon harapan. Dari Aarhus, ia membuktikan bahwa cinta tanah air tak mengenal jarak, dan suara rakyat bisa bergema lintas samudra. (kim)
100