
IM.com – Anak tunarungu sering dianggap tidak bisa berbicara. Anggapan ini muncul karena anak yang tidak dapat mendengar tidak memperoleh input bahasa ke otak, sehingga kemampuan bicaranya terhambat.
Namun, perkembangan teknologi dan metode terapi saat ini telah membuka peluang besar bagi anak tunarungu untuk mendengar dan berbicara.
Dengan alat bantu dengar (ADB) yang sesuai dan intervensi dini melalui metode Auditory Verbal Therapy (AVT), anak tunarungu, bahkan dengan gangguan berat, dapat belajar mendengar dan berbicara seperti teman-temannya yang berpendengaran normal.
AVT mengajarkan anak belajar bahasa melalui mendengar, bukan melihat gerakan bibir atau isyarat. Karena itu, anak “dipaksa” menggunakan pendengarannya sebagai jalur utama belajar bahasa.
Peran orang tua sangat penting dalam metode ini. Orang tua wajib hadir di setiap sesi terapi karena merekalah yang dilatih untuk menerapkan teknik AVT dalam aktivitas sehari-hari di rumah.
Anak perlu distimulasi sepanjang hari, sejak bangun tidur hingga malam, agar bahasa benar-benar menjadi bagian dari hidupnya.
Dengan habilitasi sejak usia dini dan tanpa ketunaan lain, perkembangan anak dapat terlihat bertahap, mulai dari merespons suara hingga mampu berkomunikasi dua arah.
Kunci keberhasilannya adalah konsistensi, komitmen, dan dukungan keluarga, sebagaimana kisah Ashila yang sejak lahir, didiagnosis mengalami gangguan pendengaran tingkat sangat berat di kedua telinganya.
Berbekal informasi tentang pentingnya intervensi dini, orang tua Ashila segera membawanya ke dokter THT saat ia berusia tiga bulan.
Tak lama setelahnya, Ashila mulai menggunakan ABD. Sebuah langkah awal yang kelak sangat menentukan hidupnya.
Ketika Ashila berusia enam bulan, ia mulai menjalani terapi rutin di Yayasan Aurica, Jalan Bendul Merisi Utara VIII/8, Surabaya.
Saat itu, keluarga Ashila yang tinggal di Bangkalan, Madura, harus menempuh perjalanan panjang karena belum terbangunnya jembatan Suramadu.
Setiap jadwal terapi, mereka berangkat sekitar pukul enam pagi agar bisa tiba tepat waktu pada pukul dua belas siang. Enam jam perjalanan dijalani tanpa keluhan, demi masa depan Ashila.
Di Aurica, jadwal terapi berjalan teratur tanpa antrean. Ashila selalu datang tepat waktu. Kadang, setelah perjalanan panjang, Ashila kecil tertidur nyenyak di ruang terapi. Namun proses belajar tetap berlangsung. Jika Ashila tertidur, orang tuanyalah yang “belajar”.
Dalam terapi Auditory Verbal, orang tua memang menjadi murid utama. Mereka dibekali teknik yang benar agar dapat melatih anak secara mandiri di rumah.
Waktu berlalu. Ashila tumbuh menjadi remaja dan menjalani hidup seperti anak-anak lain dengan pendengaran normal. Ia bersekolah, berteman, aktif berkegiatan, hingga melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dengan satu mimpi besar menjadi guru.
Hari ini, mimpi itu telah terwujud. Ashila berhasil meraih cita-citanya. Kisahnya menjadi bukti bahwa intervensi dini, dukungan keluarga, dan ketekunan dapat membuka jalan menuju masa depan.
Ashila tidak hanya belajar mendengar dunia. Tapi akhirnya menemukan suaranya sendiri. (anto)
.










































