Aksi Pamong Desa Mojokerto di halaman Pemkab Mojokerto menolak pemangkasan Alokasi Dana Desa (ADD)

IM.com – Halaman depan Kantor Pemerintah Kabupaten Mojokerto Jawa Timur dipenuhi pamong desa, Rabu (24/12/2025) siang.

Ratusan kepala desa dan perangkat desa berdiri rapat. Sebagian menggenggam spanduk, sebagian lain mengepalkan tangan. Di bawah terik matahari, suara teriakan bergantian dengan denting peluit, memecah rutinitas kantor pemerintahan yang biasanya sunyi.

Mereka datang bukan tanpa alasan. Pemangkasan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun anggaran 2026 telah menyulut emosi pemerintahan desa. Bagi para pamong desa, ADD bukan sekadar pos anggaran, melainkan napas pelayanan, penggerak roda administrasi, dan sandaran hidup ribuan keluarga.

Aksi yang digerakkan Pamong Majapahit itu semula berlangsung tertib. Namun suasana berubah ketika perwakilan massa keluar dari ruang audiensi Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto dengan raut wajah kecewa. Tak ada senyum, tak ada anggukan harapan baik.

Koordinator lapangan aksi, Sunardi, Kepala Desa Temon, Kecamatan Trowulan, berdiri di atas mobil komando. Suaranya bergetar, bukan karena pengeras suara, melainkan karena emosi yang tertahan.

Ia menyampaikan bahwa dua tuntutan utama yakni pengembalian ADD seperti semula dan tuntutan kepastian regulasi penghasilan tetap kepala desa serta perangkat desa, tidak mendapat respons sebagaimana yang mereka harapkan.

“Kami datang membawa harapan, tapi pulang membawa kekecewaan,” ucapnya singkat, disambut sorakan massa.

Kekecewaan itu kemudian berubah menjadi sikap perlawanan. Sunardi menyatakan, seluruh pemerintah desa di Kabupaten Mojokerto siap menghentikan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai bentuk tekanan kepada pemerintah daerah.

Kalimatnya disampaikan tegas, nyaris tanpa jeda, seolah tak memberi ruang untuk tawar-menawar.

“Kalau ADD tetap dipangkas, kami tidak akan menarik PBB. Biarlah Pemkab yang turun sendiri ke desa-desa,” katanya dengan suara lantang.

Ancaman itu bukan satu-satunya. Di tengah gemuruh massa, muncul pula seruan untuk menolak kunjungan kerja Bupati Mojokerto ke desa-desa.

Bagi para pamong, penolakan itu adalah bentuk simbolik dari jarak yang kini mereka rasakan antara kebijakan di atas meja dan realitas di lapangan.

“Kami tidak anti pemimpin, tapi kami ingin didengar,” teriak salah satu peserta aksi dari barisan belakang.

Aksi ini, kata Sunardi, tidak akan berhenti dalam satu hari. Massa bertekad bertahan di depan Kantor Pemkab Mojokerto hingga Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra, hadir langsung menemui mereka.

Bagi para pamong desa, dialog langsung dengan kepala daerah menjadi satu-satunya jalan untuk meredakan bara yang terus menyala.

Di sisi lain, barikade aparat kepolisian terlihat berjajar rapi. Pengamanan diperketat setelah sempat terjadi dorong-dorongan kecil ketika massa berusaha mendekat ke area pendopo.

Meski demikian, aparat memilih pendekatan persuasif, menjaga agar emosi yang memuncak tidak berubah menjadi kericuhan.

Menjelang sore, panas matahari mulai mereda, namun semangat massa belum surut. Wajah-wajah lelah tetap bertahan, sebagian duduk di trotoar, sebagian bersandar pada pagar besi.

Di balik teriakan dan spanduk, tersimpan kegelisahan yang sama yakni ketakutan akan masa depan desa jika ADD benar-benar dipangkas.

Bagi Pamong Majapahit, aksi ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah jeritan kolektif dari desa-desa yang merasa keberadaannya terpinggirkan. Dan di halaman kantor Pemkab Mojokerto hari itu, jeritan itu menggema, menunggu jawaban yang harus mendapat kepastian. (anto)

35

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini