IM.com – Pasangan Ikfina Fahmawati-Muhammad Al Barra disebut-sebut sebagai bakal calon dengan sokongan dana logistik terbesar dibanding kandidat lain. KH Asep Saifuddin Chalim, pimpinan Ponpes Amanatul Ummah sekaligus ayah Al Barra siap menjadi donatur tunggal dengan sokongan dana tak terbatas dari banyak sumber pribadinya.
Sudah bukan rahasia lagi, seorang calon kepala daerah butuh modal logistik yang jumbo. Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar pernah menyebutkan untuk Pilkada tingkat kota/kabupaten, pasangan calon sedikitnya butuh Rp 20-50 miliar.
Dana sebesar itu pun boleh dibilang cukup sekadar untuk meramaikan kontestasi Pilkada. Kalau mau diperhitungkan dan mewujudkan hasrat menduduki kursi bupati-wakil bupati, setidaknya harus menyiapkan dana Rp 50-100 miliar. Bahkan bisa lebih, tergantung luas dan potensi wilayah serta jumlah penduduknya.
“Kalau Rp 25 miliar tadi paling sedikit ya. Bahkan minimal Rp 30 miliar sampai ratusan miliar untuk pemilihan bupati. Kalau pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” ujar Bahtiar.
Bagi Kiai Asep yang ingin mengantarkan anaknya duduk d kursi Wakl Bupati Mojokerto mendampingi Ikfina tentu sudah memperhitungkan besarnya ongkos yang harus dikeluarkan. Ia mengaku sudah menyiapkan dana tersebut sembari terus mengais tambahan logistik dari berbagai sumber yang selama ini menjadi kran penghasilannya.
“Sudah berapa saja, Rp 100 miliar siap. Jangankan itu, aset saya yang disini (Ponpes Amanatul Ummah Pacet) saja lebih dari itu, coba hitung. Itu kalau bicara sombong ya, tapi tidak boleh begitu,” kata Kiai Asep.
Biasanya, dari total biaya yang dikeluarkan untuk pemenangan calon kepala daerah, hanya sedikit yang berasal dari kantong pribadi sang kandidat, 5-10 persen. Hampir semua calon mengandalkan dukungan sponsor.
Peluang itulah yang ditangkap para pengusaha dan broker politik untuk menjadi cukong. Menyuntik modal dan kebutuhan logistik calon potensial dengan kontrak politik tertentu semisal mendapat imbalan proyek atau pos jabatan penting di pemerintahan ketika sang kandidat terpilih. Atau suntikan dana pemenangan tadi dianggap sebagai pinjaman dengan janji pengembalian cash plus fee.
Kiai Asep menyangkal praktik money politik itu menjadi bagian dari upayanya memenangkan Ikbar. Ia menyatakan siap menyediakan dana berapapun yang dibutuhkan dari sumber pribadinya.
“Habis berapa saja, saya tidak akan meminta imbalan. Ini pengorbanan dan shodaqoh. Lagipula saya kan ayahnya Barra, tidak ingin mencekik anaknya sendiri dengan hutang atau janji imbalan,” tandasnya. Kiai Asep juga tak mau hitung-hitungan soal komposisi sokongan dana dari kubu Ikfina selaku bacabup.
“Saya tidak mengkalkulasi biaya itu.Seandainya saya sendiri juga siap, karena saya mengasihani Bu Ikfina yang pernah kedudukan dan kaya kemudian jatuh. Jadi bisa dianggap shodaqoh juga,” tuturnya.
Putra KH Abdul Chalim ini menyebut totalitasnya dalam mendukung Ikfna-Barra tanpa membatasi dana dan tak meminta imbalan ini tentu tidak bisa ditiru kebanyakan calon kepala daerah. Selain sulit memperoleh dana tak terbatas, kalau mau jujur cara ini juga pasti sangat memberatkan calon karena harus membiayai semua kebutuhan logistik tim pemenangan dari kantong pribadi atau pihak lain yang memberikan bantuan tanpa meminta imbalan apapun.
“Jadi jangan ditiru, kasihan kalau orang mau totallitas seperti saya. Karena saya sumbernya (dana) tidak sulit. Saya selalu memohon kepada Alloh agar mendapat sumber rezeki yang barokah dan tidak sulit,” ungkapnya.
Tetapi di sisi lain, Kiai Asep juga mewanti pelaksanaan pilkada yang bersih dan jujur harus lepas dari kendali cukong politik. Makanya, imbuh Ketua Persatuan Guru NU ini, seseorang harus kaya raya dulu sebelum maju sebagai calon kepala daerah.
“Jadi memungkinkan untuk membiayai kebutuhan kampanye sendiri. Atau memajukan anaknya, dia yang membiayai, jangan meminta imbalan apapun. Masa ayah mau mencekik anaknya sendiri. Saya kan ayahnya Barra, jadi bebas tidak minta kembalian apapun,” tandas Kiai Asep.
Lebih jauh, ia menentang keras pembiayaan calon kepala daerah dengan model transaksional seperti itu. Sepak terjang cukong dan praktik money politic seperti itu yang merusak demokrasi di Indonesia.
“Saya tidak mau pakai sponsor-sponsor. Nanti pasti mencekik di belakang, minta jatah proyek dan segala macam, itu kan yang terjadi selama ini. Saya tidak mau itu,” tegasnya.
Ia pun menyinggung perannya yang cukup signifikan dalam mesin pemenangan Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2018 serta Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu. Kiai Asep mengaku bahkan tak mau menerima imbalan apapun yang diberikan kepadanya.
“Apa tendensi saya membantu Pak Jokowi, Bu Khofifah, tidak ada. Setelah itu saya diminta jadi menteri tidak mau. Saya hanya ingin membuat Indonesia ini banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah mengorientasikan tugasnya untuk kemaslahatan rakyat,” paparnya.
Alasan ini pula yang menjadi landasan Kiai Asep all out membopong Ikbar di Pilkada Mojokerto 2020. “Saya memberikan yang terbaik untuk mewujudkan kepemimpinan yang amanah berorientasi untuk kesejahteraan rakyat,” demikian Kiai Asep. (im)