IM.com – PT Bumi Nusa Makmur (BNM) melakukan perlawanan secara hukum terhadap surat keputusan (SK) Bupati Mojokerto yang mencabut izin gangguan (HO). Pabrik karet itu menggugat SK bupati ke PTUN Surabaya karena dinilai cacat hukum. Mereka juga menuding Pemkab Mojokerto melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Humas sekaligus kuasa hukum PT BNM, Jesicha Yeni Susanti mengatakan, SK Bupati No 188.45/792/HK/416-012/2016 tentang Pencabutan SK Bupati No 188.45/1380/HK/416-012/2008 tentang Izin Gangguan Pendirian Perusahaan Industri Karet dan Plastik serta Barang-barang dari Karet dan Plastik PT BNM tertanggal 8 Desember 2016 cacat hukum.
“SK bupati kabur, tidak jelas, tidak sesuai aturan yang dibuat bupati sendiri,” kata Jesicha kepada wartawan, Senin (9/1/2017).
Sebagaimana diketahui, Pemkab Mojokerto mencabut izin HO dan menghentikan operasional PT BNM lantaran melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) Permendagri No 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah. Pasalnya, pabrik karet di Desa Medali, Kecamatan Puri itu melakukan perluasan 7.000 meter persegi tanpa izin mendirikan bangunan (IMB).
Pemilik PT BNM pun divonis bersalah melakukan tindak pidana ringan oleh Pengadilan Negeri Mojokerto dengan hukuman 3 bulan kurungan dan 6 bulan masa percobaan. Akibat pelanggaran itu, sesuai Pasal 3 Permendagri No 27 Tahun 2009, Bupati Mojokerto berhak mencabut izin HO PT BNM.
Menurut Jesicha, SK Bupati bertentangan dengan Pasal 2 Permendagri No 22 Tahun 2016 tentang perubahan atas Permendagri No 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah.
Pasal tersebut tegas mengatur perusahaan yang melakukan perluasan pabrik tak perlu lagi mengajukan izin ke pemerintah daerah. “Apa yang dilakukan Pemkab Mojokerto tidak adil, mencabut izin HO tidak prosedural,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Jesicha, pada 13 Desember 2016, PT BNM menggugat SK bupati ke PTUN Surabaya. “Karena ada pandangan hukum yang berbeda, ini hanya bisa selesai di PTUN. Apapun keputudan pengadilan kami ikuti,” ungkapnya.
Namun, tambah Jesicha, apa yang dilakukan Satpol PP siang tadi berusaha menutup operasional PT BNM melanggar Pasal 31 UU RI No 39 tentang HAM. Pasalnya, petugas penegak perda itu nekat masuk ke lokasi pabrik dan melakukan penyegelan saat belum ada putusan dari PTUN Surabaya.
Menurut dia, pabrik karet berhak beroperasi lantaran belum ada putusan hukum tetap. “Apa yang terjadi tadi pelanggaran HAM, masuk ke tempat saya. Kita harus tunggu putusan pengadilan,” tegasnya.
Di samping melawan secara hukum, kata Jesicha, PT BNM melakukan perbaikan untuk mengurangi bau yang selama ini menjadi pokok masalah yang diprotes warga sekitar. “Saya berjanji ke masyarakat dalam waktu enam bulan untuk mengilangkan bau, kami menargetkan Agustus 2017 bau hilang,” tandasnya. (bud/uyo)