IM.com – Vonis bebas yang dijatuhkan ke Angga Wahyu Pratama (22), mahasiswa terdakwa pencabulan gadis dibawah umur kini menyisakan pertanyaan. Bagaimana tidak, alat bukti yang disuguhkan penyidik maupun jaksa penuntun umum (JPU) dalam persidangan lebih dari cukup untuk membawa Angga ke bui. Namun, para hakim justru berkata lain.
Sejak awal, penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polres Mojokerto cukup serius menangani kasus ini. Polisi berhasil mengumpulkan empat alat bukti berupa keterangan enam saksi, hasil visum, bukti petunjuk dan pengakuan tersangka Angga. Padahal dalam kasus pencabulan anak, dua alat bukti berupa keterangan korban dan hasil visum saja cukup untuk menyeret pelaku ke meja hijau.
Oleh sebab itu, korps berseragam cokelat sangat yakin Angga lah pelaku tunggal pencabulan gadis 16 tahun warga Kecamatan Bangsal seperti yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) atau Pasal 82 ayat (1) UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Bahkan polisi menilai BAP No BP/62/VII/2015/Reskrim yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mojokerto 23 Juli 2015, sempurna. Pasalnya, BAP tersebut langsung dinyatakan lengkap oleh Kejari pada pelimpahan pertama. Surat P21 dari Kejari Mojokerto No B-2034/O.5.9/Ep.1/08/2015 diterima penyidik tanggal 10 Agustus 2015.
“Tidak ada namanya salah tangkap, penyidikan kami tidak ada cacatnya,” kata Kasat Reskrim Polres Mojokerto AKP Budi Santoso kepada wartawan, Senin (5/6/2017).
Di lain sisi, jaksa penuntut umum (JPU) kala itu, Zulkifli Nento mengaku telah maksimal melakukan penuntutan kepada Angga di persidangan. Semua alat bukti yang dikumpulkan penyidik dalam BAP, dia sajikan kepada majelis hakim. Salah satunya keterangan para saksi yang terdiri dari korban, ibu korban, tante korban, teman sekolah korban dan dua tetangga korban.
“Intinya saksi menyatakan terdakwa (Angga) mempunyai hubungan dengan korban. Saksi usia 10 tahun (tetangga korban) melihat terdakwa di depan kamar mandi rumah korban sedang memeluk dan menindih korban. Memang saksi yang melihat persetubuhan tak ada kecuali korban. Namun, para saksi memberikan petunjuk adanya perbuatan terdakwa. Itu kan kita sudah bisa mengambil kesimpulan,” terangnya.
Satu-satunya pengganjal, lanjut Zulkifli, di dalam persidangan Angga mengingkari keterangannya di dalam BAP. Pemuda asal Dusun Janti, Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar itu membantah telah menghamili korban.
Tak kehabisan amunisi, pihaknya pun menghadirkan saksi verbalisan dari penyidik Unit PPA. Ternyata penyidik menyatakan saat pemeriksaan tak sedikit pun melakukan pemaksaan maupun intimidasi kepada Angga. Sehingga keterangan mahasiswa jurusan akuntasi Undar Jombang itu telah mencabuli korban, murni pengakuan.
Selain itu, Zulkifli berusaha meluruskan dakwaan terhadap Angga kepada majelis hakim. Menurut dia, isi dakwaan adalah perbuatan cabul yang diduga dilakukan Angga terhadap korban, sedangkan kehamilan korban hanya akibat dari perbuatan cabul tersebut.
“Devisinisi cabul di UU Perlindungan Anak bisa menyetubuhi, bisa juga meraba-raba, mencium. Kalau pun terdakwa tak mengakui menghamili korban, di pemeriksaan dia mengakui mencium korban. Maka menurut kami itu sudah cukup,” tandasnya.
Kuatnya alat bukti yang dikumpulkan penyidik maupun bukti yang disajikan jaksa penuntut di dalam persidangan, seharusnya sudah cukup menjadi pertimbangan majelis hakim untuk mengantar Angga ke penjara. Namun, majelis hakim yang diketuai Sunarti dengan hakim anggota Dyah Sutji Imani dan Joko Waluyo, justru berkata lain. Mereka menjatuhkan vonis bebas kepada Angga 14 Januari 2016.
“Saya tak bisa intervensi vonis hakim, majelis hakim punya pendapat sendiri, apakah dari keterangan terdakwa itu mereka mengembangkan pendapat hukum sendiri,” tegasnya. (kus/uyo)