IM.com – Perdebatan terkait implementasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 20 tahun 2018 yang melarang mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi semakin meruncing. Apalagi baru-baru ini Badan Pengawas Pemilu kembali meloloskan tiga bakal calon legislatif (caleg) bekas narapidana kasus korupsi.
Bacaleg mantan napi kasus korupsi tersebut berada di dapil Jawa Tengah. Dua caleg di tingkat kabupaten/kota masing-masing diloloskan oleh Bawaslu Rembang dan Blora. Satu caleg tingkat provinsi diloloskan Bawaslu Jateng.
“Satu caleg tingkat provinsi, dua lainnya di tingkat kabupaten,” kata Ketua Bawaslu Jawa Tengah, Fajar Subhi di Semarang, Jumat (7/9/2018).
Menurut Subhi, KPU harus melaksanakan putusan gugatan sengketa pemilu itu tiga hari setelah putusan dijatuhkan. Ia menjelaskan adapun dasar dari putusan Bawaslu mengabulkan permohonan tiga mantan napi itu karena beberapa hal.
Diantaranya, dalam undang-undang yang mengatur tentang syarat calon legislator tidak diatur larangan mantan napi maju dalam pemilu legislatif.
“Yang mengatur hal itu di dalam syarat pencalonan,” kata mantan Ketua KPU Jawa Tengah ini.
Selain itu, lanjut Subhi, putusan MK juga tidak melarang mantan koruptor maju lagi sebagai wakil rakyat sepanjang sudah menjalani hukumannya dan mengumumkan ke masyarakat. Karena itu, pihaknya meminta KPU melaksanakan putusan tersebut.
Apabila tidak dilaksanakan, pemohon bisa mengajukan gugatan terhadap KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebelumnya, Berdasarkan data dari Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih, hingga kini tercatat ada 11 eks napi korupsi yang diloloskan Bawaslu menjadi anggota DPD maupun bakal caleg Pemilu 2019.
Sebelumnya, Bawaslu telah meloloskan mantan napi korupsi menjadi caleg di Aceh, Sulawesi Utara, dan Toraja Utara. Dalam tiga putusan tersebut, tiga mantan koruptor yakni Abdullah Puteh di Aceh (Bacaleg DPD), Syahrial Damapolii di Sulawesi Utara (Bacaleg DPD), dan Joni Kornelius Tondok di Kabupaten Toraja Utara (Bacaleg DPRD dari PKPI) dinyatakan memenuhi syarat oleh Bawaslu, sebagai bakal caleg dan calon anggota DPD.
Bawaslu juga meloloskan Ramadan Umasangaji di Kota Pare-Pare (Bacaleg DPRD dari Perindo), M Nur Hasan di Kabupaten Rembang (Bacaleg DPRD dari Hanura), Andi Muttamar Mattotorang di Kabupaten Bulukumba (Bacaleg DPRD dari Partai Berkarya), M Taufik di Provinsi DKI Jakarta (Bacaleg dari Gerindra), Abdul Salam di Kota Palopo (Bacaleg DPRD Nasdem), Ferizal dan Mirhammuddin di Belitung Timur (Balaceg DPRD Gerindra), Maksum Dg Mannassa di Mamuju (Bacaleg DPRD dari PKS), Saiful Talub Lami di Tojo Una-Una (Bacaleg DPRD dari Partai Golkar).
Selain itu, Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih juga mencatat masih ada sejumlah daerah yang memproses penyelesaian gugatan oleh mantan narapidana korupsi, yakni di Blora, Provinsi Jawa Tengah, Banten, Pandeglang, Kabupaten Lingga, Gorontalo dan Cilegon.
KPU Tak Berhak Larang Napi Korupsi Nyaleg
Mengapa Bawaslu nekat mengabaikan Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang pelarangan mantan napi korupsi nyaleg seperti tertuang pada Pasal 7 ayat (1) huruf j? Bawaslu memandang ketentuan tersebut bertentangan dengan perundangan lain yang lebih tinggi, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) serta Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009.
Tetapi di sisi lain, KPU kukuh menolak mantan napi menjadi bacaleg. KPU berpendapat, aturan tersebut sebagai sarana penyaringan awal terhadap latar belakang dan kualitas para calon anggota legislatif.
Perbedaan persepsi ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sehingga nampak tidak ada sinergi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ihwal timbulnya kegaduhan di masyarakat ini ketika Bawaslu kembali meloloskan beberapa caleg yang dianggap tidak memenuhi syarat KPU berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf j PKPU tersebut.
Sejak awal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) gamang mengesahkan aturan KPU yang menjadi sumber polemik Bawaslu dan KPU saat ini. Tak pelak, regulasi ini pu menuai kritik dan pro kontra.
PAKAR Hukum Tata Negara Prof Mohammad Mahfud MD, KPU tidak memiliki kewenangan membatasi hak warga negara untuk dipilih dan memilih yang merupakan hak asasi manusia (HAM).
Mahfud MD menolak Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan nara pidana (napi) korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Menurut Mohammad Mahfud MD, KPU tidak memiliki kewenangan membatasi hak warga negara untuk dipilih dan memilih yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Pembatan HAM, kata Mahfud MD, hanya bisa dilakukan melalui undang-undang (UU) sebagaimana diatur dalam konstitusi negara, tepatnya Pasal 28J (2) UUD 1945 hasil amandemen.
“Saya setuju mantan napi korupsi tdk boleh jadi caleg agar pemilu berrkualitas dan berintegritas. Tapi sy tdk setuju pelarangan itu ditentukan oleh KPU,” ujar Mahfud MD melalui akun twitternya, Jumat (7/9/2018). sekitar dua jam lalu. (im)