Asrilia Kurniati Bambang Harjo, caleg DPRD Jatim dari Partai Gerindra di Dapil 1 Sidoarjo-Surabaya.

IM.com – Penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya memang tidak sepenuhnya diterima semua pihak. Tetapi cukup mengejutkan jika salah satu pihak yang tidak setuju penutupan Dolly ternyata adalah seorang calon legislatif. Adalah Asrilia Kurniati Bambang Harjo, Caleg DPRD Jatim dari Partai Gerindra di Dapil Surabaya yang bukan hanya menyesalkan penutupan eks lokalisasi Dolly, tetapi juga menyarankan dibukanya lokalisasi di Kota Pahlawan.

Asrilia berkilah bukannya menolak penutupan Dolly. Tetapi, solusi bagi perekonomian masyarakat yang terimbas penutupan lokalisasi peningalan era kolonial itu yang jauh lebih penting untuk dipikirkan ketimbang penutupan itu.

“Saya setuju pemerintah tutup Dolly. Tapi ya mau gimana lagi?,” ujar Asrilia di Surabaya. Dia berdalih hanya ingin memberikan jalan untuk meminimalisir hal negatif yang ada di masyarakat.

Sebab menurutnya, penutupan eks lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu justru melahirkan banyak prostitusi-prostitusi terselubung yang tersebar di Surabaya. Dia menyangkal data Badan Pusat Statistik tahun 2018 bahwa sejak tahun 2015 jumlah lokalisasi, mucikari, dan wanita tunasusa di Surabaya telah menunjukkan angka 0 atau habis sama sekali.

“Contohnya di Stasiun Wonokromo. Saya pernah sidak ke sana dan sempat foto-foto. Di tempat lain juga banyak,” ujarnya.

Ketua organisasi sosial Peace and Love Jatim ini berpendapat bahwa prostitusi-prostitusi yang bergerak secara terselubung justru makin menjamur sejak penutupan Dolly. Hal ini, imbuhnya, malah lebih berbahaya terutama pada penyebaran virus HIV-AIDS.

“Prostitusi seperti ini juga tetap berbahaya bagi anak-anak dan masyarakat. Bu Risma kan selalu mementingkan parenting atau kepedulian bagi anak. Tolong sekalian tuntaskan kerjanya,” tutur perempuan yang pernah diisukan sebagai pemilik paha mulus yang ada di dalam foto viral bersama pria mirip Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas itu.

Karna itu, Asrilia berani menyarankan adanya lokalisasi khusus yang terletak jauh dari pemukiman warga. Sehingga ketakutan pemerintah akan dampak mental anak tidak akan terjadi dan penularan HIV/AIDS dapat dicegah.

“Dolly kan dulunya juga begitu, memang red district saat jaman Belanda, jauh dari pemukiman warga. Orang-orang gak boleh masuk sana yang di bawah usia 17 tahun,” tuturnya. (int/im)

103

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini