IM.com – Popularitas dan kekuatan duit tak menjamin elektabiltas seorang politisi selalu tinggi. Hal ini nampaknya berlaku pada sosok Fandi Utomo, calon Anggota Legislatif DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa yang juga digadang sebagai kandidat di Pilkada Kota Surabaya 2020.
Fandi masih sangat berpotensi gagal di Pemiihan Legislatif (Pileg) 2019 dan kontestasi Pilkada Surabaya. Kendati, modal materinya cukup melimpah untuk menyisir suara di Dapil Jatim I (Surabaya-Sidoarjo).
Apa penyebabnya? Salah satu celah yang paling bisa mengganggu jalan politik Fandi adalah langkah politik kuda yang dilakoninya. Ambisi Fandi untuk menduduki kursi Surabaya 1 di tengah kompetisinya di arena pacuan Pileg justru bisa menjadi blunder politik.
“Bisa-bisa malah kehilangan keduanya (kursi DPR RI dan Cawali Surabaya) kalau salah kalkulasi dan salah pemetaan social need (kebutuhan sosial)-nya. Pepatah jawanya nguber uceng kelangan deleg (mengejar sesuatu yang kecil tetapi kehilangan miliknya yang besar),” kata Direktur Surabaya Survey Center (SSC), Mochtar W. Oetomo kepada Antara di Surabaya, Selasa (22/1/2019).
Ramalan SSC tadi bukan tanpa dasar. Penilaian itu merujuk pada hasil survei yang dilakukan SSC terkait popularitas dan elektabiltas sejumlah nama yang digadang sebagai bakal kontestasn di Pilkada Kota Surabaya 2020.
Berdasar survei SSC, berdasarkan hasil survei SSC yang digelar mulai 20-31 Desember 2018 di 31 Kecamatan di Kota Surabaya, nama Fandi Utomo terbenam di urutan bawah daftar kandidat Walikota Surabaya. Elektabiltas mantan politisi Partai Demokrat itu 4,3 persen, hanya unggul dari politisi sekelas Arzeti Bilbina yang meraih 4 persen.
Suara untuk Fandi masih sangat jauh untuk menjangkau elektabiltas Whisnu Sakti Buana, Wakil Walikota Surabaya sekarang yang meraup 15,4 persen. Menyusul di bawah Whisnu ada Puti Guntur Soekarno (15,1 persen), anggota DPR RI dari Partai Golkar Adies Kadir (6,9 persen) dan Ahmad Dhani serta Armuji (Ketua DPRD Surabaya) yang berbagi elektabiltas sama 4,5 persen di urutan keempat.
“Double agenda (Pileg dan Pilkada) malah mengancam laju Fandi. Sosialisasi untuk Pilkada Surabaya sekaligus untuk Caleg DPR RI akan menimbulkan kerancuan informasi dan persepsi negatif publik. Agenda mana sebenarnya yang penting dan utama,” tutur Mochtar.
Mochtar menambahkan, dengan dua agenda ambisius itu, publik justru menjadi mudah mempersepsikan Fandi hanya mengejar kekuasaan.
“Ini memang risiko yang harus dihadapi Fandi kalau tetap menjalankan dua agenda politiknya dalam waktu bersamaan,” cetusnya.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, publik –khususnya warga Kota Surabaya- memang belum sepenuhnya percaya pada sosok Fandi Utomo. Pada Pilkada Kota Surabaya 2010 silam yang dimenangkan pasangan Tri Rismaharini-Bambang DH, perolehan Fandi Utomo yang berpasangan dengan Yulius Bustami tercecer di urutan ketiga, kalah dari duet Arif Afandi-Adies Kadir di posisi kedua.
Bahkan kekuatan uang Fandi kala itu menjadi kandidat paling kaya dan banyak menghamburkan pundinya, tak mampu membungkam suara nurani warga Kota Pahlawan.
Lebih dari itu stigma negatif sebagai politisi kutu loncat terlanjur melekat pada sosok Fandi. Politisi kelahiran Mojokerto 1968 yang dulunya dikenal sangat dekat dengan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono ini hengkang dari Partai Demokrat untuk berlabuh ke PKB menjelang pendaftaran caleg.
Meskipun, rumor menyebutkan Partai Demokrat-lah yang mendepak Fandi karena sejumlah alasan. Langkah kuda Fandi itulah -dari anggota DPR Fraksi Demokrat (014-2019) menjadi caleg PKB dan langsung masuk bursa bakal Cawali Surabaya-, yang berpotensi membentuk opini kontraproduktif publik.
“Publik masih mengingat dengan jelas, bagaimana dulu sangat loyal dengan SBY dan keluarganya. Sekarang tiba-tiba mengusung dua agenda di partai lain” papar Mochtar.
Hal itu belum ditambah tantangan dari dua caleg petahana PKB dalam pencalegannya. Secara basis massa PKB di akar rumput (nahdliyin), Fandi tentu tertinggal jauh dari dua caleg petahana tersebut.
“Dia harus bekerja keras untuk meyakinkan publik dan konstituen PKB,” katanya.
Berikutnya lagi, lanjut Mochtar, Fandi harus meyakinkan publik Surabaya bahwa memang ia layak.
“Tapi untuk masyarakat urban seperti Surabaya dan Sidoarjo, Fandi juga harus menggarap konstruksi opini publiknya dengan masif dan strategis karena bagaimanapun double agenda yang dibawanya, keduanya sama-sama bukan perkara mudah dan ringan,” demikian Mochtar. (ant/im)