Simulasi penghitungan suara menggunakan metode Sainte Lague Murni (SLM).


IM.com – Metode penghitungan suara untuk menentukan lolos tidaknya parpol dan caleg ke parlemen selalu memunculkan kerumitan serta kelebihan dan kekurangannya. Baru saja publik memahami metode penghitungan model kuota hare atau Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) pada Pemilu 2014, kini sistem itu diganti lagi dengan cara yang tak kalah rumit bernama Sainte Lague Murni (SLM). Bagaimana perbedaan dan penjelasannya?

Dalam UU Penyelenggaraan Pemilu UU Nomor 7 tahun 2017 Pasal 415 ayat (2) dan (3)  disebutkan, bahwa Kuota Hare adalah metode konversi suara dengan cara dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (vote atau v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (seat atau s).

Dalam hal ini, terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen melalui teknik penghitungan Kuota Hare atau yang dikenal dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus v/s.

Selanjutnya di tahap kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu daerah pemilihan di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi.

Dengan metode kuota Hare, parpol kecil bisa diakomodasi, namun di sisi lain parpol besar yang mendulang suara maksimal merasa dirugikan karena suara mereka beralih atau dibagi kepada parpol lain.

Sebagai ilustrasi, ada sembilan partai politik yang bertarung dalam satu dapil dan memperebutkan enam kursi. Jumlah total suara di dapil tersebut adalah 866.454 dan BPP-nya 144.409. Partai yang mendapatkan suara melebihi BPP hanya dua parpol: Partai F yang mendapatkan 222.213 suara dan Partai I dengan 186.477 suara. Enam partai lainnya perolehan suaranya tidak mencapai BPP.

Misalnya, Partai A mendapatkan suara 31.484, Partai B (41.028 suara), Partai C (103.617 suara), Partai D (79.846 suara), Partai E (31.436 suara), Partai G (88.418 suara), dan Partai H (81.935 suara). Cara mengkonversi perolehan suara menjadi kursi di parlemen dilakukan dengan dua tahap.

Pertama, yang mendapatkan kursi di dapil tersebut adalah Partai F dan I yang memperoleh suaranya di atas BPP. Artinya, masih ada sisa 4 kursi sisa yang masih dapat diperebutkan.

Sisa 4 kursi yang belum dikonversi ini kemudian menjadi hak partai yang memperoleh suara tertinggi berikutnya, yaitu Partai C, Partai D, Partai G, dan Partai H.

Sementara Partai A, B, dan E sama sekali tidak mendapatkan jatah kursi. Inilah yang dinilai banyak pihak tidak adil karena suara PDIP 2 kali suara NasDem, 7 kali suara Gerindra, dan 9 kali suara PAN.

Sistem itu sudah tidak digunakan lagi di Pemilu 2019. Sesuai Pasal 415 ayat (2) dan (3) UU Nomor 7 tahun 2017, KPU menggunakan Sainte Lague Murni, pembagi yang dipakai bukan kuota kursi, tetapi perolehan suara dibagi 1,3,5,7 untuk urutan masing masing kursi. (Baca juga: Persaingan Caleg Dapil 1 Kabupaten Mojokerto, Dua Incumbent Terpental, 4 Wajah Baru Lolos).

Metode Sainte Lague Murni masuk ke dalam kategori Metode Divisor, yaitu menggunakan nilai rata-rata tertinggi atau biasa disebut BP (Bilangan Pembagi).

Artinya, kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun berdasarkan nilai bilangan pembagi. Prosedur ini akan terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis.

Misalnya, untuk perebutan kursi pertama suara PDIP 220.000, Gerindra 100.000, Golkar 30.000, PAN 25.000. Jadi kursi pertama 1 kursi untuk yang tertinggi PDIP. Kursi kedua suara PDIP 220.000: 3 = 73.333. Karena suara NasDem 100 ribu, Gerindra 30 ribu, dan PAN 25 ribu, maka NasDem mendapat 1 kursi karena mengoleksi 100 ribu suara.

Untuk kursi ketiga (PDIP : 220.000/3 = 73.333, Gerindra 100.000/3 = 33.333, Golkar 30.000, PAN 25.000), maka 1 kursi kembali untuk PDIP karena memiliki 73.333 suara untuk kursi yang kedua pada perebutan kursi dapil yang ke-3.

Sistem ini juga masih punya celah. Sebagian pihak menganggap sistem penghitungan Sainte Lague lebih menguntungkan parpol papan atas yang mendulang suara besar. (im)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini