Terpidana kasus pemerkosaan 9 bocah, M Aris (20), yang divonis hukuman penjara 12 tahun dan kebiri kimia dibawa ke Lapas Klas IIB Mojokerto, Senin (26/8/2019). Foto: Martin

IM.com – Pengadilan Negeri Mojokerto tak bergeming terhadap kritikan banyak pihak atas vonis hukuman tambahan kebiri kimia yang telah dijatuhkan kepada Muh. Aris (20). Sementara phak kejaksaan hingga kini masih kesulitan mencari rumah sakit yang bersedia menjalankan eksekusi kebiri kimia sesuai putusan majelis hakim yang berdasar UU Nomor 17 Tahun 2016 Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7.

Sejauh ini, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, sudah mengirimkan permohonan ke tiga rumah sakit besar di wilayah setempat. Namun hingga kini, belum ada rumah sakit yang menyatakan bersedia untuk melakukan eksekusi kebiri kimia terhadap Aris karena hukuman itu baru pertama kali ini diterapkan.

“Kita sudah mengirimkan ke RSUD RA Basoeni, RSUD Soekandar, dan RSU Wahidin Sudiro Husodo, tapi belum ada yang konfirmasi bersedia. Mungkin takut, karena (hukuman kebiri kimia) belum pernah dilakukan,” Kasi Intel Kejari Kabupaten Mojokerto Nugroho Wisnu, Senin (26/8/2019).

Walau demikian, kejaksaan tak akan menyerah begitu saja. Demi menjalankan putusan pengadilan, Kejari Mojokerto akan mencari rumah sakit di mana saja yang mau melakukan kebiri kimia.

“Kalau memang perlu sampai ke Jakarta, kami lakukan. Nanti kita kan ke RS yang lebih besar mana tahu itu Jakarta atau di mana. Kita juga masih berkoordinasi dengan semuanya. Masih ada RS Polri, RS Tentara,” tandas Wisnu.

Menurut Wisnu, upaya keras Kejari Mojokerto ini lantaran hukuman kebiri kimia ini sudah diputuskan di tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya dan berkekuatan hukum tetap. Pihaknya Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto berjanji segera menjalankan putusan ini begitu ada rumah sakit yang bersedia.

“Ini nanti kalau kita sudah positif dapat tempat dilaksanakan kebiri kimia, langsung kami laksanakan,” tegasnya.

Sebelumnya dalam kasus ini jaksa mendakwa Muh Aris pasal 81 76d, Pasal 81 ayat 1 subsider 76e, dan Pasal 81 ayat 1. Majelis hakim PN Mojokerto kemudian sependapat PN Mojokerto dengan dakwaan jaksa penuntut umum.

“Majelis hakim sependapat mengenai pidana tambahan kebiri kimia tersebut, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2016 dalam ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang menyatakan bahwa, salah satunya lebih dari satu kali, ketentuan maksimal bisa ditambah dalam UU,” jelas Humas PN Mojokerto, Erhammudin.

Ketentuan maksimal bisa ditambah dalam UU sehingga Pasal 81 ancaman 15 tahun maksimal bisa sampai 20 tahun, seumur hidup maupun hukuman mati. Menurut majelis, unsur-unsur yang disebutkan dalam dakwaan jaksa telah terbukti dilakukan terdakwa.

“Dalam Pasal 81 ayat 7 disitu apabila ketentuan Pasal 5 diberlakukan, maka bisa dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia, ” ujarnya.

Begitu juga dengan alasan kenapa bisa diputus oleh majelis hakim mengenai tambahan pidana kebiri kimia, walapun dalam tuntutan tidak ada? PN Mojokerto berpatokan sesuai UU Nomor 17 Tahun 2016. 

“Usia korban rata-rata anak TK. Terdakwa melakukan kejahatan secara acak, keliling komplek, dan sekolahan ketemu anak kecil langsung dibekap dan melakukan pemerkosaan,” bebernya. 

Hasil visum menyebutkan kemaluan korban robek dan berdarah. Erhammudin menganggap kejahatan seksual yang dilakukan Muh Aris sangat serius dan harus diberikan efek jera selain untuk dirinya sendiri juga sebagai pelajaran kepada pelaku lain.

“Kejahatan terhadap anak, bagaimanapun sedini mungkin agar tidak terjadi lagi di Mojokerto khususnya,” tutur Erhammudin.

Menurutnya, putusan tersebut berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. Bagaimanapun, negara melalui UU harus melindungi anak-anak dan perlindungan apa yang diberikan pengadilan terhadap masyarakat yakni melalui putusan yang dianggap adil. 

“Kami mencoba mencapai hal tersebut, artinya keputusan kami serahkan kepada masyarakat untuk menilai. Sehingga majelis memberikan pidana tambahan berupa kebiri kimia,” terangnya.

Vonis hukuman kebiri kimia yang dihatuhkan majelis hakim PN Mojokerto ini langsung menuai pro kontra. Komnas HAM merupakan salah satu pihak yang menentang keras penerapan hukuman ini karena dianggap tidak manusiawi. (Baca: Kebiri Kimia Pemerkosa 9 Anak di Mojokerto, Didukung Menkes, Ditentang Komnas HAM).

Kendati, putusan majelis hakim PN Mojokerto ini sudah mengacu pada UU. Makanya, Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Menteri PPPA Yohana Yembise pun sangat mendukung eksekusi hukuman kebiri kimia ini.

Namun pihak PN Mojokerto tetap pada pendirian bahwa putusan majelis hakim terhadap Muh Aris sudah sesuai peraturan yang ada. “Untuk masalah tersebut, pengadilan tidak akan komentar karena apa yang sudah diputuskan sudah sesuai UU. Eksekusinya kami serahkan ke kejaksaan,” tandas Erhammudin.

Ia menyatakan, terpidana Muh Aris memang terbukti berungkali melakukan kekerasan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur. Dalam Pasal 5 dan Pasal 7 jelas sekali disebutkan, lebih dari satu kali bisa diberikan pidana tambahan.

“Ada dua perkara atas nama Aris, di Kabupaten terdaftar dalam Nomor 79 Pidsus Tahun 2019, yang kedua Nomor 65 dan 69,” ujarnya. 

IDI Berdalih Tidak Ada Ilmu Kebiri Kimia

Upaya kejaksaan mencari rumah sakit atau lembaga medis yang bersedia menjalankan vonis PN Mojokerto untuk mengebiri terpidana Muh Aris secara kimia hampir dipastikan tidak tercapai di Jatim. Pasalnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim telah menyatakan menolak menjadi eksekutor untuk hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual.

Ketua IDI Jatim dr Poernomo Budi Setiawan mengatakan, eksekusi kebiri kimia tersebut bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Dalam hal ini, profesi dokter untuk menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.

“Sebetulnya kebiri itu apa. Ilmu pengetahuan kita tidak ada mengenai pengebirian, juga tidak pernah dipraktekkan. Sehingga dari sisi kompetensi kami menolak dan merasa tidak memiliki kompetensi itu. Apalagi dari sisi etik jelas menolak,” kata dr Poernomo, Senin (26/8/2019). 

Poernomo mengaku, pihaknya belum tahu pasti siapa yang akan mengeksekusi hukuman tersebut. Namun dalam hal ini, IDI tetap menolak untuk menjadi eksekutornya, meskipun pemerintah menunjuknya.

Menurutnya, keputusan menolak melakukan kebiri ini sudah bulat dari IDI Pusat hingga daerah.

“Pertimbangan lain, apakah memasukkan kebiri kimia itu tidak membawa dampak pada organ lain. Nah, kalau pemerintah menunjuk dokter, IDI tidak bisa,” ujarnya.

Hukuman kebiri telah ada di Eropa sejak abad pertengahan. Ada dua macam teknik hukuman kebiri, yaitu kebiri fisik dan kebiri kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan cara mengamputasi organ seks eksternal pemerkosa, sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron.

Apabila seseorang kekurangan hormon testosteron, dorongan seksualnya pun akan berkurang. Model kebiri dengan cara ini sudah dilakukan sejak sekitar 600 tahun silam dan menjadi tradisi bagi kasim yang menjadi pelayan kerajaan di era kekaisaran Cina.

Kebiri dilakukan untuk menciptakan pelayan yang aman di istana. Soalnya, kasim bertugas memandikan raja, membereskan tempat tidur, dan memotong rambut.

Konon, proses kebiri para kasim ada dua cara. Pertama, proses kebiri dilakukan saat calon kasim sudah dewasa dengan memotong testisnya. Cara lain adalah dengan melakukan kebiri saat calon kasim masih anak-anak.

Namun, di era modern kebiri fisik sudah tak lagi dilakukan dan digantikan kebiri kimia. Model kebiri ini dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang agar produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang.

Hasil akhirnya akan sama seperti kebiri fisik. Hormon androgen alias hormon laki-laki mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan organ reproduksi pria.

Saat ini, hanya beberapa negara yang menjalankan hukuman kebiri. Antara lain hukuman kebiri seperti Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. (rei/im)

124

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini