IM.com – Menyelesaikan pro kontra seputar hukuman kebiri kimia tidak bisa hanya dilakukan dalam waktu singkat. Banyak aspek yang harus dipikirkan, terutama dari sisi medis seperti teknis eksekusi kebiri dengan obat-obatan (kimia) serta menimbang manfaat dan dampak buruk bagi orang yang dikebiri. Lantas bagaimana dulu pemerintah menerbitkan Perppu hingga begitu saja disahkah menjadi UU oleh DPR?
Pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 sejatinya sudah menuai pro kontra. Bahkan sejak masih menjadi wacana, rumusan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang mengatur soal hukuman kebiri kimia sudah memantik dukungan dan kecaman.
Juru Bicara Fraksi PKS Ledia Hanifah kala itu menyatakan, tidak setuju perppu ini disahkan dengan beberapa catatan. Antara lain bahwa penerapan hukuman kebiri bukan satu-satunya solusi untuk perlindungan anak.
“Kita melihat bahwa ada sejumlah hal yang berkaitan dengan ketetapan pemberatan hukuman dengan kebiri, kami melihat ini bukan satu-satunya solusi yang dapat dilakukan, kebiri bukan hukuman yang tepat,” jelasnya.
Pendapat ini diperkuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang konsisten dari dulu sampai sekarang menentang hukuman kebiri kimia. IDI berpandangan, hukuman kebiri kimia akan lebih efektif hasilnya jika bertujuan untuk rehabilitasi. (Baca juga: Jaksa Kesulitan Cari Rumah Sakit Eksekutor Kebiri Kimia sampai Jakarta, IDI Menolak).
“Dan jika kebiri kimiawi dilakukan dalam perspektif rehabilitasi, kami dari IDI dengan sukarela jadi eksekutornya,” kata Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, Daeng Mohammad Faqih.
Ditimbang dari sisi positif dan negatifnya pun, para dokter bersepakat bahwa manfaat hukuman kebiri kimia yang lebih dutujukan untuk memberikan efek jera lebih sangat kecil. Dibanding dengan dampak dan resiko fisik maupun psikis orang yang menjalani hukuman kebiri.
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (MPPK PBIDI) Surabaya, dr Pujo Hartono menilai kebiri kimia yang dimaksud sebagai hukuman tambahan belum dapat dipastikan akan menghilangkan hasrat seksual terpidana. (Baca: Kebiri Kimia Pemerkosa 9 Anak di Mojokerto, Didukung Menkes, Ditentang Komnas HAM).
Karena yang terpenting menurut Pujo adalah menangani masalah psikologis atau mengubah pola pikir pelaku kejahatan seksual yang dapat memunculkan hasrat seksual, bukan sekadar menghilangkan hormon seksual.
“Belum dipastikan (kebiri kimia) dapat menghilangkan naluri bejat. Mungkin tidak bisa ereksi tapi otaknya untuk melakukan itu kan mungkin pakai dengan cara lain, seperti pakai tangan. Jadi tdak ada jaminan untuk dia tidak kembali melakukan naluri bejatnya,” tegas dr Pujo Hartono di RSUD Dr Soetomo, Senin (26/08/2019).
Hal ini diamini Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia, Wimpie Pangkahila. Menurutnya, meskipun gairah seksual bisa ditekan, memori pengalaman seksual tidak bisa dihapus.
”Tidak pernah ada laporan yang menunjukkan bahwa kebiri kimia memang lebih memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual dibandingkan hukuman lain yang cukup berat. Karena pengalaman seksual sebelumnya kan sudah terekam di otak. Keinginan dia kan masih ada, terlepas dari apakah dia mampu atau tidak,” kata Wimpie.
Zat Anti Testoteron hanya Menurunkan Libido dan Tidak Permanen
Dokter spesialis Andrologi, Nugroho Setiawan, lebih memperjelas manfaat dan dampak kebiri kimia dari pandangan medis. Menurutnya, zat anti testoteron tidak bisa menjamin akan menghilangkan hasrat seksual.
“Hormon testosteron berpengaruh pada gairah seksual seorang pria dan membantu penis seorang pria bisa ereksi,” kata dokter Nugroho. Ia menjelaskan, zat anti-testosteron membendung kelenjar di otak agar tidak memproduksi hormon pemicu produksi testosteron.
“Nah zat anti testoteron ini untuk menekan dorongan hormon seksual itu. Kalau itu ditekan, otomatis testis tidak memproduksi testosteron. Jadi saling terkait semuanya,” jelasnya.
Zat inilah yang paling memungkinkan digunakan secara medis untuk melakukan kebiri kimia terhadap predator seksual. “Tapi zat kimia itu hanya membuat gairah seksual menurun,” tegas dokter Nugroho.
Lebih dari itu, pengaruh zat anti-testosteron tidak permanen. Sebagaimana obat-obat kimia lainnya, zat anti-testosteron tergantung oleh batas waktu.
Efek dari obat antitestosteron juga bersifat sementara. Gairah seksual bisa kembali muncul jika pemberian obat tersebut dihentikan.
“Jangan salah sangka, kebiri kimia sekali suntik selesai, seperti orang yang dikebiri secara fisik. Tapi mereka harus mendapatkan terus-menerus. Kalau pengaruh obatnya habis ya bisa muncul lagi (hasrat seksual),” cetus dokter Nugroho.
Dari sisi dampak, penyuntikan zat anti testosteron secara rutin memilik dampak lebih serius. Pasalnya, hormon testosteron berperan dalam berbagai fungsi tubuh, tak hanya fungsi seksual.
”Penurunan hormon testosteron akan berpengaruh ke otak sehingga suasana hati tidak nyaman, menjadi pemarah. Lalu imbasnya ke kulit sehingga kulit menjadi kering. Otot kemudian mengecil, tulang menjadi keropos. Orang itu juga akan sangat lemah, loyo,” kata dokter Nugroho.
Ia memaparkan, pemberian obat antitestosteron menimbulkan efek samping antara lain kekuatan otot menurun, osteoporosis, anemia, lemak meningkat, dan penurunan fungsi kognitif. Dari sejumlah efek samping di atas bisa memunculkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
“Kebiri kimiawi juga bisa membuat pria mengalami infertilitas atau ketidaksuburan,” tandasnya.
Dari pandangan itu, dokter Nugroho mengingatkan bahwa dorongan seksual tidak semata-mata disebabkan hormon testosteron. Ada faktor lain yang mendorongnya, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan, dan faktor psikologis soal fungsi seksual.
”Ada pengalaman seksual yang pria alami, itu akan membangkitkan gairah. Lalu faktor kesehatan tubuh pria juga berpengaruh. Jadi sekali lagi, dengan obat anti testosteron, keinginan melakukan hubungan seksual belum tentu akan hilang sama sekali,” kata dokter Nugroho.
Baru-baru ini, penelitian telah menemukan obat-obat yang kuat, seperti cyproproterone dan medroxyprogesterone, yang bekerja untuk memblok produksi testosteron. Utamanya obat-obatan ini digunakan untuk menangani pasien kanker prostat, tapi jika disuntikkan setiap hari atau setiap minggu, mereka bisa menurunkan produksi testosteron sampai ke level kebiri.
Kebiri secara operasi juga sudah tidak memutilasi seperti sebelumnya. Orchiectomy, sebutannya, adalah prosedur satu hari yang dilakukan di bawah pengaruh bius lokal. Setiap testis diangkat melalui potongan skrotal kecil, mirip dengan potongan yang dilakukan saat vasektomi.Berkaca pada pengalaman di beberapa negara lain yang menerapkan hukuman kebiri kimia dengan menggunakan zat kimia tadi, memang ada efek jera yang bisa ditimbulkan.
Studi penggunaan cyproproterone dan medroxyprogesterone di Denmark misalnya, menunjukkan hukuman kebiri terhadap lebih dari 700 pelaku kekerasan seksual telah menurunkan angka pengulangan tindakan bejat mereka dari 50 persen menjadi hanya 2 persen. Hasil serupa juga terjadi pada studi di Norwegia.
Kendati efek ini baru berlaku secara berangsur setelah hukuman berkali-kali diterapkan.
Dalam sebuah studi cyproproterone dengan lingkup lebih kecil di Skandinavia dan Italia, kebiri kimia sama efektifnya dengan operasi kebiri (potong testis). Bahkan kebiri kimia di negara tersebut membuat kejahatan pedofil (seksual pada anak) menurun drastis.
Yang lebih menarik, sebuah studi di Jerman menemukan hampir setengah dari orang yang sudah dikebiri tetap masih bisa memiliki ereksi dan melakukan hubungan seks, tapi gairah mereka jadi menurun atau hilang sama sekali. Lebih dari 80 persen tak lagi melakukan masturbasi, dan 70 persen berhenti berhubungan seks sama sekali.
Dan Fred Berlin, seorang psikiater dan ahli dalam menangani pelaku kejahatan seksual dari Johns HOpkins University, AS, menekankan bagaimana kebiri akan sangat efektif diterapkan pada pada mereka yang terangsang secara seksual dengan kejahatan mereka.
“Seperti kelainan seksual (sadis) dan pedofil. Kebiri ini menghilangkan dorongan tadi dari orang-orang dengan orientasi seksual yang menyimpang,” paparnya.
Beranjak dari pengalaman dan studi di negara-negara eropa maupun AS tadi, maka ada benarnya juga argumen pemerintah dan penegak hukum di Indonesia mengatur hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Argumen memberikan efek jera serta melindungi perempuan dan anak ini pula yang dipakai Majelis hakim PN Mojokerto menjatuhkan vonis hukuman tambahan berupa kebiri kimia kepada Muh Aris (20), terpidana kasus pemerkosaan terhadap 9 bocah perempuan. (im)