IM.com – Terpidana kasus pemerkosaan Muh Aris (20) hanya bisa pasrah menunggu eksekusi hukuman tambahan kebiri kimia disamping menjalani pidana penjara 12 tahun. Jika boleh memilih, warga Dusun Mengelo, Desa/Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto itu lebih ingin mati atau menjalani hukuman penjara seumur hidup daripada harus disuntik kebiri.
“Saya menerima putusan hakim untuk hukuman penjara, tapi saya keberatan dengan hukuman suntik kebiri kimia, karena efeknya seumur hidup. Saya pilih dihukum mati saja Mas atau dihukum 20 tahun penjara. Itu sudah setimpal dengan perbuatan saya,” ungkapnya ketika ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Mojokerto Senin siang (26/8/2019).
Keberatan terpidana yang sehari-hari bekerja sebagai tukang las itu ditunjukkan dengan menolak menandatangani pernyataan kesediaan dieksekusi. Meskipun, hukuman itu sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Mojokerto yang diperkuat Pengadilan Tinggi Surabaya.
“Tetap saya tolak. Saya tidak mau. Kalau disuruh tanda tangan saya tidak mau tanda tangan,” ucapnya sambil matanya berkaca – kaca.
Dalam ketentuan Pasal 81 ayat 7, pidana tambahan kebiri kimia saja. Pasal 5 bisa dikenakan minimal 10 tahun, maksimal 20 tahun, hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Handoyo, kuasa hukum terpidana meminta ada perhatian khusus dari pemerintah untuk mengkaji hukuman tambahan pidana kebiri kimia terhadap kliennya. Sebelumnya, kuasa hukum mengaku sangat kesulitan berkomunikasi dengan terpidana lantaran kondisi psikologinya yang terganggu akibat vonis hukuman kebiri ini.
“Terdakwa seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari dinas terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan HAM, ” ujar Handoyo, kuasa hukum Muh. Aris Senin (26/8/2019).
Kuasa hukum juga mengharapkan belas kasih keluarga terdakwa agar mau memaafkan terpidana yang telah memperkosa 9 bocah perempuan itu. Selain itu,Handoyo menilai, harus ada kajian lain yang dilakukan oleh semua pihak terkait, pemerintah, DPR maupun penegak hukum dalam memeriksa Muh Aris.
“Menurut saya ada aspek selain normatif. Karena dari aspek tersebut, pelaku mengakui perbuatan kekerasan seksual. Jadi harus dikaji ulang dari aspek yang lain, kenapa dia melakukan perbuatan tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, penyidik harus memeriksa terdakwa dengan kajian yang lain. Agar terdakwa bisa menjawab semua pertanyaan dari penyidik.
“Penyidik sudah memeriksa terdakwa secara psikologi. Akan tetapi tidak semua pertanyaan yang diajukan oleh penyidik tidak bisa dijawab oleh terdakwa. Sehingga, menurut saya, kurang mendalam,” ungkapnya. (rei/im)