Surabaya – Baru dilantik Sabtu (31/8/2019), Anggota DPRD Jawa Timur, Mathur Husyairi, langsung memanaskan atmosfer Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Bentuk pelaksanaan fungsinya sebagai legislator, Mathur melontarkan kritikan awal terhadap birokrasi dan transparansi anggaran yang dikelola Pemprov Jatim.
Memantau pengelolaan anggaran pemerintah daerah memang menjadi ‘santapan’ Mathur sejak menjadi aktivis. Tak heran ketika duduk di kursi DPRD Jatim, politisi asal Bangkalan itu langsung menguliti beberapa pos anggaran di Pemprov yang dinilai tak lazim.
Sedikitnya ada lima aspek penting terkait jabatan anggota dewan dan pengelolaan birokrasi juga anggaran Pemprov Jatim yang menjadi sorotan Mathur. Pertama, terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2016 dan 2017 yang dinilai tidak transparan serta terindikasi menyimpang.
“Saya meminta pemprov atau gubernur yang sekarang menyerahkan data pengelolaan APBD 2016. Karena pada kemimpinan sebelumnya (mantan Gubernur Soekarwo), Pemprov terus menghindar dan tak mau menyerahkannya, padahal permintaan itu sudah dikabulkan Komisi Informasi sampai tingkat kasasi,” tandasnya.
Pihaknya dulu sudah meminta dan menggugat transparansi anggaran Pemprov ke Komisi Informasi Publik (KIP) hingga dikabulkan, namun tidak pernah digubris oleh Pemprov.
“Program kegiatan di setiap SKPD sangat sulit diakses, PPID Jatim maupun PPID Pembantu sama saja, selalu mempersulit dan tidak mau memberikan data. Maka, saya mengambil jalur ini (sebagai anggota DPRD) untuk menuntut tranparansi anggaran Pemprov,” cetus Direktur Jaka Jatim ini.
Menurut Mathur, data pengelolaan APBD 2016 dan 2017 itu sangat penting dibuka ke publik karena terindikasi banyak penyelewengan dalam pencairan dana hibah. Rincian nama penerima dan jumlah uang hibah yang dicairkan dari APBD 2016 dan 2017 inilah hal kedua yang disoal Mathur.
“Dana hibah 2016-2017 sarat indikasi penyelewengan. Makanya kami meminta data penerima hibah by name by address ke Dinas Pendidikan Jatim TA 2016-2017 sampai bersengketa di Komisi Informasi dan melaporkanya melaporkannya ke Polda Jatim, tapi mentah saja,” ujarnya. (Baca: Pengelolaan Dana Hibah Pemprov Jatim Rp 7 Triliun Janggal Dilaporkan ke Polda).
Masalah ketiga yang dipertanyakan Mathur juga sama dengan sebelumnya. Yakni ihwal data penerima hibah tahun 2017 dari pos anggaran Dinas Peternakan dan Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA)).
Keempat, legislator Partai Bulan Bintang itu meminta pengelolaan birokrasi dan pelayanan publik Pemprov Jatim di bawah gubernur baru, Khofifah Indar Parawansa harus dibenahi. Jangan seperti kepemimpinan dua periode sebelumnya yang konvensional dan tertutup.
Sekarang era teknologi dan keterbukaan informasi, semua birokrasi pemerintahan dan layanan publik harus memanfaatkan kemajuan IT yang bisa diakses masyarakat luas. Mathur mengungkapkan, Pemprov sejatinya sudah pernah mengalokasikan anggaran untuk membangun Smart Province, piranti biokrasi dan pelayanan publik berbasis IT, hanya selama ini kurang dimaksimalkan.
“Tinggal mengoptimalkan kemajuan IT untuk memperbaiki tata kelola birokrasi dan layanan publik agar makin Cettar, selaras dengan jargon Bu Khofifah,” tegasnya.
Kelima, Mathur merasa aneh dengan penetapan Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) oleh DPRD Jatim periode 2014-2019 pada 28 Agustus atau 3 hari sebelum pelantikan DPRD Jatim 2019-2024. Legislator asal Bangkalan, Madura itu, menilai, penetapan itu sangat tergesa-gesa.
“Kenapa tidak sabar sebentar, menunggu anggota dewan baru dilantik. Tapi karena sudah diputuskan, anggota dewan yang baru, tidak mengetahui skala prioritas anggaran di KUA-PPAS, ini yang saya sayangkan, kami tinggal mengesahkan RAPBD 2020 tanpa bisa mengotak-atik lagi,” paparnya.
KUA-PPAS merupakan dokumen nota keuangan yang menjadi dasar penyusunan dan penetapan anggaran. KUA-PPAS disusun berdasarkan Rencana Kerja Prioritas Daerah (RKPD) dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan sudah ditetapkan hanya tiga hari sebelum anggota DPRD Jatim 2019-2024 dilantik.
“Sebenarnya itu tidak salah, tapi secara moril, kita akan mengawasi anggaran itu sedangkan kita tidak tahu apa yang menjadi skala prioritas di KUA PPAS itu sebelum menjadi APBD,” jelas Mathur.
Singgung Tunjangan Dewan dan Anggaran Gizi Buruk Dinkes
Sebagai perwakilan partai yang mengemban amanah rakyat, Mathur, berkomitmen menjalankan fungsi pengawasan, penganggaran dan legislasi dengan lurus dan tegas.
“Saya ingin bekerja sesuai tupoksi anggota dewan yang dipercaya rakyat secara profesional,” tegas Mathur. Terlebih, Mathur tak mau dipandang miring oleh masyarakat karena terkesan memakan ‘gaji buta’ sebagai anggota dewan.
Pasalnya, Anggota DPRD Jatim yang baru dilantik pada 31 Agustus 2019 lalu, sudah menerima gaji pada awal bulan September ini. Totalnya tidak sedikit, untuk gaji dan tunjangan di kisaran Rp 71 juta.
Jumlah itu belum termasuk uang tunjangan kunjungan kerja baik luar provinsi maupun dalam provinsi, yang setiap satu bulan bisa tiga kali. Sehingga pendapatan setiap anggota dewan per bulannya bisa mencapai Rp 101 juta.
Bahkan Anggota DPRD Jatim priode 2019 -2024 juga mendapatkan fasilitas pribadi, mulai mobil hingga rumah dinas. Maka tak salah kalau masyarakat mulai memandang miring anggota dewan yang belum bekerja tapi sudah digaji.
“Mobil dinas itu memang hak dewan. Namun tunjangan kendaraan dinas sekarang tak berwujud mobil, ganti dikonversikan berupa uang,” tuturnya.
Belum lama ini, Mathur juga mengkritik kebijakan Dinas Kesehatan Jatim terkait pengelolaan anggaran gizi buruk di Jatim. Ia menuding Dinkes tidak transparan dan cenderung asal-asalan dalam menyusun anggaran penanganan gizi buruk
“Saya melihat Dinkes ngawur dalam menyusun anggaran penanganan gizi buruk. Serapan anggarannya rendah lalu bisa menyusun anggaran untuk penanganan gizi buruk tentunya atas dasar apa mereka menyusun. Ini jelas sekali mereka ngawur,” ungkap anggota DPRD Jatim, Mathur Husyairi, di Surabaya, Selasa lalu (3/9/2019).
Indikasi penyusuan anggaran ngawur yang ditudingkan Mathur ditandai dari penyerapan anggaran terkait penanganan gizi buruk di Jatim -termasuk- stunting yang rendah. Mathur menyebut, indikator itu menunjukkan bahwa Dinkes tidak menyajikan data yang benar terkait hal tersebut.
“Serapan yang rendah sampai dengam triwulan ketiga dalam anggaran 2019 ini semakin membuktikan data yang di sajikan tidak transparan dan tekesan ada yang ditutup tutupi,” ujarnya.
Mathur menambahkan, seharusnya Dinkes terlebih dulu membandingkan dan mengevaluasi dulu program yang sudah atau pernah berjalan sebelum menyusun anggarannya.
“Ada dananya untuk penanganannya, tapi datanya masih tinggi. Data penanganan gizi buruk itu harusnya sudah bisa tersambung antara Provinsi dan Kabupaten/Kota,” cetusnya. (im)