IM.com – Sejumlah nasabah Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Budi Arta Mojokerto menjerit lantaran tak bisa mencairkan dana miliaran rupiah. Betapa tidak, simpanan uang mereka hingga ada yang mencapai Rp 600 juta untuk biaya pendidikan anak terancam raib begitu saja.
Mayoritas nasabah KPRI Budi Arta adalah pensiunan PNS guru TK, SD, SMP, SMA/SMK. Uang simpanan mereka juga telah dipotong setiap bulan selama masa kerja mereka.
Kini, setelah dana simpanan tak bisa dicairkan, ratusan nasabah merasa terus dibohongi oleh kasir KPRI Budi Arta, Wahyu Widyawati atau akrab disapa Yayuk dan ayahnya, mantan Ketua koperasi Malikan. Mereka pun telah mengadukan keluhannya ke pengurus baru KPRI Budi Arta seraya menuntut kedua orang itu mengembalikan uang simpanan mana suka anggota.
Salah seorang nasabah KPRI Budi Arta, Abdillah mengatakan, uang pribadinya yang masuk dalam simpanan mana suka ke koperasi tersebut mencapai Rp 600 juta. Ia mengaku mulai rutin menabung uangnya di koperasi itu sejak tahun 2018.
“Saya mempunyai simpanan mana suka mulai tanun 2018. Awalnya Rp 450 juta, kemudian ada tambahan lagi, 50 juta, 25 juta sampai 15 juta, sampai terkumpul Rp 600 juta pada tahun 2020,” kata pensiunan guru SD Jiyu, Kecamatan Kutorejo itu, Jum’at (2/9/2022).
Selain simpanan mana suka, pria berusia 63 tahun itu juga memiliki simpanan wajib Rp 16 juta. Saat memasuki masa pensiun pada tahun 2019, ia hendak mengambil seluruh uang simpanannya.
Namun ketika meminta uang tersebut kepada Wahyu, ia mendapat penjelasan bahwa uang simpanan mana suka miliknya sudah dicairkan. Padahal dirinya mengaku tidak pernah menandatangani kwitansi pembayaran.
“Saya tidak pernah menanda tangani kwitansi uang mana suka, yang saya tanda tangani itu kwitansi uang jasa,” tandas Abdillah.
Ia menjelaskan, selama ini pernah menandatangani kwitansi kosong yang diberikan oleh Wahyu. Belakangan, ia baru mengetahui kalau tandatangannya itu dipergunakan untuk manipulasi data guna mencairkan dana atau kredit fiktif.
“Saya punya simpanan wajib Rp 16 juta. Waktu itu sudah saya minta, tapi katanya disuruh nunggu, antri,” ujar bapak tiga anak itu.
Beberapa kali Abdillah harus kecewa dan pulang dengan tangan kosong ketika mendatangu rumah Wahyu di rumahnya untuk meminta kejelasan. Menurutnya, Wahyu berdalih pencairan dana masih menunggu antrian.
“Rencananya, uang simpanan itu buat kuliah anak saya. Mungkin juga membuatkan ruman untuk anak saya yang sudah menikah,” terangnya.
Tak hanya Abdillah, nasabah lain, Suwarsih yang memiliki simpanan di KPRI Budi Arta sebesar Rp 150 juta juga mengalami nasib serupa. Ia sudah berulang kali menanyakan kepada Wahyu, tetapi jawabannya selalu tidak jelas.
“Terakhir saya minta bulan agustus 2022. Katanya nanti tunggu 3 bulan lagi. Kok lama bu? Ini lo nunggu tanda tangan bendahara. Kalau tidak ada tanda tangan bendahara tidak bisa mengeluarkan uang, jawabnya begitu. Bolak balik ya begitu saja, tidak hanya bulan ini, bulan sebelum-sebelumnya juga seperti itu,” ungkapnya sembari matanya berkaca-kaca.
Suwarsih sudah menabung sejak tahun 2014. Rencana uang Rp 150 juta itu untuk dinikmati di hari tua dan biaya pengobatan suami yang menderita penyakit diabetes. Sampai suaminya meninggal dunia bulan Juni 2022, dana yang ia nantikan itu tak kunjung dicairkan.
“Tabungan saya di Budi Arta 150 juta, kemarin katanya dijanjikan dicicil tapi sampai sekarang tidak diberi. Sampai suami saya meninggal dunia bulan Juni,” tuturnya.
Tak hanya itu, dengan uang tabungan itu, ia berkeinginan membiayai kuliah anaknya yang masuk program doktor (S3) di Malang.
“Juga untuk biaya saya sendiri, mungkin juga buat naik ibadah haji,” terang pensiunan guru asal Desa Modongan, Kecamatan Sooko, Mojokerto.
Kasus penggelapan uang koperasi tersebut mencuat setelah pengurus baru KPRI Budi Arta melaporkan perbuatan Yayuk dan Malikan ke Polres Mojokerto. Para terlapor diduga menggelapkan berbagai jenis dana simpanan nasabah dengan beragam modus.
Baca: Dugaan Penggelapan Dana KPRI Budi Arta, Terlapor Klaim Rogoh Uang Pribadi
Menurut Ketua 1 Pengurus KPRI Budi Arta, Yuswanto, hasil identifikasi sementara, total uang yang simpanan mana suka yang belum dicairkan senilai Rp 2,5 miliar milik 24 nasabah. Dari puluhan pemilik simpanan mana suka itu, ada yang dananya mencapai Rp 800 juta.
“Paling sedikit Rp 70 juta,” ungkap Yuswanto.
Akibat gagal bayar itu, para nasabah KPRI Budi Arta kelimpungan. Sebab, ada yang mengandalkan uang itu untuk modal usaha dan biaya pendidikan anak.
Selain itu, sekitar 89 anggota menjadi korban kredit fiktif. Mereka mengaku sudah tidak punya lagi pinjaman di KP-RI Budi Arta Mojokerto. Total ada 89 orang yang namanya dicatut untuk mengambil pinjaman atau kredit fiktif.
“Kita mengadakan verifikasi per Kecamatan, sebagian terbukti bahwa mereka tidak hutang. Tidak tahu kemana uangnya,” ujarnya.
Yuswanto menambahkan, dalam laporan pengurus di polisi, kerugian KP-RI Budi Arta Mojokerto ditafsir sekitar Rp 11,197 miliar. “Total kerugian Rp 11,197 miliar. Modus penggunaan kas koperasi yang tidak pada tempatnya,” ungkapnya.
Sementara, Kuasa hukum KPRI Budi Arta, Herlambang Siswanto mengatakan, kasus ini masih dalam proses penyelidikan kepolisian. Setelah perkara pidana selesai, pihaknya berencana akan melanjutkan ke proses hukum perdata.
“Setelah dari pidananya ada keputusan, kita akan naikkan ke perdatanya. Informasi yang kami peroleh proses pidananya masih pemeriksaan saksi-saksi,” katanya.
Kini dirinya bersama pengurus koperasi tersebut masih menelusuri korban-korban lain. Jika ditemukan alat bukti baru akan diserahkan kepada penyidik Satreskrim Polres Mojokerto.
“Kemungkinan nnti kalau ada tambahan bukti lagi kita ajukan lagi ke Polres,” pungkasnya. (cw)