Bupati Ikfina Fahmawati menyampaikan pandangan umum terhadap 4 raperda inisiatif DPRD dalam rapat paripurna di Graha Wichesa, Gedung Dewan, Rabu (27/9/2022).

IM.com – Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati menyampaikan pandangan umum (Pandum) terhadap 4 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Inisiatif DPRD. Hal itu disampaikan dalam rapat paripurna itu digelar di ruang rapat Graha Whicesa DPRD Kabupaten Mojokerto, Jalan R.A Basuni, Kecamatan Sooko, Selasa (27/9/2022).

Rapat Paripurna dipimpin oleh Ketua DPRD Kabupaten Mojokerto Ayni Zuroh.
Turut hadir Sekretaris Daerah Teguh Gunarko, para asisten dan staf ahli Bupati Mojokerto, Para anggota Forkopimda, Kepala Perangkat Daerah dan Direktur BUMD dan Camat se-Kabupaten Mojokerto di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Mojokerto.

Adapun keempat raperda yakni tentang penyelenggaraan ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, Raperda tentang kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan usaha mikro. Kemudian, Raperda tentang pengelolaan air limbah domestik serta Raperda tentang pemerlu kesejahteraan sosial.

Bupati Ikfina menjelaskan, sebagaimana telah disampaikan melalui Nota Penjelasan DPRD pada tanggal 22 September 2022 lalu, DPRD selaku pemrakarsa telah mengajukan 4 Raperda untuk dilakukan pembahasan bersama. Itu terdiri dari, Raperda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat, Raperda tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Raperda tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik, dan Raperda tentang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 73 huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018. Berikut disampaikan pendapat Bupati Mojokerto terhadap Raperda tersebut.

“Perlu diketahui, pendapat yang akan kami sampaikan lebih kepada hal-hal yang bersifat umum dan prinsip. Sedangkan hasil pencermatan, saran dan masukan secara lengkap kami sampaikan berupa Daftar Inventarisasi Permasalahan dalam bentuk Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pendapat Bupati,” jelasnya.

Selanjutnya, terkait dengan pendapat terhadap 4 Raperda dimaksud dapat disampaikan sebagai berikut.

Pertama, Raperda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat. Pada dasarnya Ikfina cukup mengapresiasi dengan disusunnya Raperda tersebut. Selain sebagai bentuk tindak lanjut atas berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat, Raperda ini juga diarahkan sebagai instrumen regulasi pengganti terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan keadaan saat ini.

Berkenaan dengan hal tersebut, Raperda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat ternyata belum mengatur mengenai pencabutan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.

“Oleh karena itu, guna menghindari dualisme produk hukum daerah, maka di dalam BAB XIV KETENTUAN PENUTUP perlu ditambahkan 1 (satu) ketentuan Pasal yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat,” jelasnya.

Selanjutnya, terkait ketentuan tertib pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Raperda. Ikfina menilai Pasal tersebut cukup krusial guna menegaskan kembali peran daerah melalui Satpol PP dalam pelaksanaan penertiban pajak daerah dan retribusi daerah. Satpol PP selaku aparat penegak Perda akan lebih leluasa dalam memberikan sanksi kepada para wajib pajak daerah dan wajib retribusi daerah yang tidak memenuhi kewajibannya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, terhadap ketentuan Pasal 27 kami usulkan penyempurnaan sebagai berikut, setiap orang pribadi atau badan yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak, wajib memenuhi kewajiban perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak membayar pajak daerah dilarang melaksanakan kegiatan pemanfaatan, penyediaan jasa, penjualan/ penyerahan, konsumsi, penyelenggaraan, pengambilan, pengusahaan, perolehan hak yang memenuhi kriteria sebagai objek pajak.

Setiap orang pribadi atau badan yang tidak membayar Retribusi Daerah dilarang menggunakan dan/atau menikmati fasilitas layanan dan/atau jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.

“Melalui pengaturan yang sedemikian rupa, kami berharap akan dapat mendukung upaya terwujudnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat di Kabupaten Mojokerto secara lebih komprehensif,” terangnya.

Kedua, Raperda tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro. Raperda ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan bagi Usaha Mikro di daerah.

Terkait hal ini ia sepakat bahwa perlu adanya upaya pengembangan potensi-potensi ekonomi masyarakat khususnya usaha mikro mengingat usaha mikro merupakan bagian dari perekonomian nasional yang mempunyai peran strategis dalam menopang laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Terdapat beberapa pencermatan terkait materi muatan Raperda tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro. Salah satunya terkait ketentuan Pasal 15 Ayat (1) yang mengatur bahwa dalam hal terjadi kondisi darurat tertentu, Pemerintah Daerah mengupayakan pemulihan Usaha Mikro meliputi, restrukturisasi kredit, rekonstruksi usaha, bantuan permodalan dan/atau
bantuan bentuk lain.

Akan tetapi dalam Raperda ini belum secara tegas mengatur atau menjelaskan bagaimana kriteria kondisi darurat tertentu tersebut. Termasuk apa yang dimaksud dengan ‘restrukturisasi kredit, rekonstruksi usaha, bantuan permodalan, dan bantuan bentuk lain’.

“Mengenai istilah-istilah tersebut setidaknya perlu diberikan penjelasan dengan menambahkan dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Raperda. Mohon penjelasannya. Berlandaskan pada asas kejelasan rumusan, penjelasan terhadap ketentuan di atas sangat dibutuhkan guna memberikan kepastian hukum dalam implementasinya,” ungkap Ikfina.

Ketiga, Raperda tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik. Secara normatif, tidak ada amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik. Akan tetapi jika ditinjau dari segi sosiologis atau kemanfaatannya, pengaturan mengenai pengendalian pembuangan air limbah domestik diperlukan guna perlindungan dan pemenuhan hak atas air serta lingkungan yang baik dan sehat termasuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Pada prinsipnya, sebuah norma yang mengatur mengenai sanksi sangat penting dalam rangka memastikan kepatuhan masyarakat terhadap berlakunya sebuah aturan hukum. Berdasarkan hasil pencermatannya, rumusan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) Raperda ini masih perlu disempurnakan kembali. Adapun yang menjadi persoalan adalah penyebutan Pasal yang dirujuk, yakni Pasal 88 yang masih kurang tepat.

“Di samping itu, ketentuan Pasal 93 Raperda ini juga belum menyebutkan secara spesifik sanksi pidana kurungan maupun pidana dendanya. Sehingga, menurut pendapat kami ketentuan sanksi ini masih perlu diperbaiki dengan tetap berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.Mohon penjelasannya,” tambah Ikfina.

Keempat, Raperda tentang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan hasil pencermatan terhadap Raperda tentang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial, terdapat beberapa pokok persoalan antara lain terkait ketentuan Pasal 4 ayat (3) yang mengatur pembagian perangkat daerah yang membidangi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial dalam Lampiran Raperda.

Setelah pihaknya melakukan pengkajian, terkait ketentuan dimaksud kami usulkan supaya diatur untuk ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perkembangan regulasi perangkat daerah mulai dari segi nomenklatur, maupun uraian tugas dan fungsinya relatif sangat dinamis. Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaannya, maka terkait pembagian Perangkat Daerah tersebut cukup ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

“Adapun rumusan ayat (3) yang kami usulkan, yaitu Pembagian Perangkat Daerah yang membidangi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Jika hal ini dapat disetujui, selanjutnya ketentuan dalam Lampiran Raperda ini supaya dihapus,” tandasnya.

Bupati perempuan pertama di Kabupaten Mojokerto itu menambahkan, salah satu dampak dari berlakunya sebuah Peraturan Daerah adalah timbulnya pembebanan anggaran pada keuangan daerah. Pelaksanaan atas ketentuan Peraturan Daerah dalam berbagai bentuk seperti pemberian bantuan/ insentif kepada masyarakat maupun kegiatan lainnya merupakan hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama. Konsekuensi adanya kewajiban dan tugas yang harus dilaksanakan serta dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat tentunya menjadi prioritas kita bersama dalam perencanaan dan penganggaran kedepannya.

Selanjutnya, terhadap keempat Raperda yang berasal dari DPRD, menurut pendapat kami masih memerlukan diskusi lebih lanjut dalam rangka sinkronisasi, pendalaman serta penyempurnaan materi muatan melalui pembahasan bersama di tingkat Panitia Khusus. Hal ini sangat penting guna mewujudkan suatu Peraturan Daerah yang selaras serta tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

“Lebih penting lagi, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58, dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang memerintahkan bahwa Raperda perlu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Timur,” jelas Bupati.

Menurutnya Ikfina, hal tersebut berkaitan dengan penilaian Indeks Reformasi Hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2022 tentang Penilaian Indeks Reformasi Hukum Pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan pada tanggal 2 September 2022. Pengukuran Indeks Reformasi Hukum tersebut dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) variabel.

Yaitu memperkuat koordinasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan harmonisasi regulasi, mendorong regulasi atau deregulasi berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan hasil review. Berikutnya, mendorong penyederhanaan regulasi pada setiap jenjang level peraturan perundang-undangan dan meningkatkan kompetensi ASN sebagai Perancang perundang-undangan (legal drafter pusat dan daerah).

“Berkenaan dengan pelaksanaan harmonisasi pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Timur, tentunya perlu menjadi perhatian kita bersama khususnya dalam proses penyusunan Raperda mengingat hal ini sangat terkait dengan kepatuhan hukum oleh Daerah dan penilaian Indeks Reformasi Hukum yang jika tidak ada perubahan rencananya akan dilaksanakan pada bulan Maret 2023,” pungkasnya. (im)

62

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini