IM.com – Kebijakan Presiden Joko Widodo melarang aparatur sipil negara (ASN) dan instansi pemerintah menggelar buka bersama (bukber) di restoran maupun hotel meresahkan pelaku usaha sektor jasa tersebut. Pasalnya, tingkat okupansi hotel yang baru mulai bangkit pasca Pandemi Covid-19, cenderung menurun selama Bulan Ramadhan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim Dwi Cahyono mengatakan, kebijakan itu berdampak negatif bagi usaha jasa penginapan dan resto yang cenderung lesu selama Bulan Ramadhan. Ia menyebutkan, rata-rata okupansi hanya 20 persen dari hari biasa.
“Kita belum pulih betul, masih recovery pandemi kemarin, ini sudah agak merangkak. Bulan puasa ini turun, okupansi bisa menyentuh 20 persen, sedangkan kewajiban banyak. Harapannya saat puasa buka puasa, ada event buka puasa,” kata Dwi Cahyono.
Lebih jauh, Dwi menjelaskan, belum adanya penjelasan detil terkait larangan bagi pejabat dan ASN melakukan buka bersama juga membawa dampak lain. Sebab, bukan hanya hotel dan restoran, UMKM dan pihak-pihak swasta yang hendak menggelar acara buka bersama dengan mengundang pejabat pemerintah juga terimbas.
“Karena aturan terkait larangan itu belum sepenuhnya jelas dipahami. Pejabat siapa saja, pejabatnya yang mengadakan atau dia yang diundang atau bagaimana? Ini membuat masyarakat bingung,” ujarnya.
Ia pun menjelaskan bahwa kebijakan ini berdampak pada banyak sektor. Sekalipun masyarakat umum diizinkan untuk penyelenggarakan buka puasa di hotel atau restoran tetap menyebabkan kebingungan.
“Biasanya buka bersama itu memiliki banyak rangkaian banyak link, selalu ada santunan anak yatim, selalu ada bingkisan yang melibatkan UMKM. Ada juga mengundang pejabat, dan dengan kebijakan ini bisa jadi pejabat yang diundang ternyata tidak berani datang terkait perizinan. Aturannya belum jelas, tapi dampak sudah jelas,” lanjutnya.
Sehingga, PHRI Jatim meminta kepada pemerintah untuk meringankan aturan pejabat maupun ASN untuk larangan bukber tersebut. “Jadi kejelasan-kejelasan aturan itu yang membuat kebingunan dan jadi tidak berani mengadakan acara ini,” ungkapnya.
Di sisi lain, lanjut Dwi, manajemen hotel dan restoran juga harus membayar gaji para karyawan. Sementara pemasukan untuk usaha sektor jasa dan wisata seperti itu sepanjang Bulan Ramdhan banyak bergantung pada event-event seperti buka bersama, santunan anak yatim, dan kerjasama dengan UMKM.
“Kita berharap bisa lebih bijak pemerintah saat memberikan aturan,” tutur Dwi Cahyono.
Apalagi, menurut Dwi, penyelenggara event-event besar yang memanfaatkan jasa hotel dan restoran di kota-kota besar, kebanyakan dari kegiatan pemerintahan. Seperti di Surabaya, Malang, Kota Batu dan Pasuruan.
“Ada kementerian, ada BUMN yang berkaitan dengan event. Hampir semua buka bersama resmi berkaitan dengan institusi pemerintahan,” ujarnya.
Kekhawatiran itu rupanya sudah terjadi di Mojokerto sebagaimana disampaikan Ketua PHRI setempat, Satuin. Pihaknya mendapat informasi ada salah satu hotel di Bumi Majapahit yang kehilangan order event buka bersama lantaran penyelenggara membatalkan pesanan.
“Larangan kepada pejabat ASN untuk buka bersama di hotel dan restoran itu sangat berdampak bagi usaha sektor itu. Apalagi selama Ramadhan ini, perusahaan harus mengeluarkan biaya yang besar, mulai gaji karyawan sampai tunjangan hari raya (THR). Jadi mohon pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut,” ujarnya. (im)