IM.com – Urban farming menjadi gaya hidup yang semakin diminati oleh warga perkotaan, tidak terkecuali di Kota Mojokerto. Merespon tren tersebut, Pemkot Mojokerto meluncurkan gerakan Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk menggerakkan sektor pertanian.
Kini, praktik urban farming semakin banyak dilakukan masing-masing rumah tangga di Kota Mojokerto, dengan skala dan metode yang beragam.
Penjabat Wali kota Mojokerto Moh. Ali Kuncoro juga turut memberi perhatian terhadap fenomena tersebut. Pihaknya mengapresiasi keterlibatan masyarkat yang semakin masih dalam kegiatan berkebun yang memanfaatkan ruang terbatas yang ada di sekitar rumah atau pemukiman.
“Ini tidak hanya menghijaukan lingkungan, tapi juga menyediakan sayuran segar yang bisa dikonsumsi sebagai sumber nutrisi untuk keluarga. Ini menunjukkan adanya kesadaran ketahanan pangan dari masyarakat,” ujar Pj Walikota, Minggu (21/1).
Berikutnya, penerapan urban farming juga secara ekonomi menguntungkan bagi warga. Mengingat, untuk beberapa jenis sayuran dan bumbu dapur dapat dipenuhi secara mandiri melalu hasil budidaya tersebut.
Bahkan lebih lanjut, praktiknya juga dapat membantu menekan laju inflasi daerah.
“Karena sejumlah tanaman termasuk dalam jenis komoditas yang kerap mengalami kenaikan dan berkontribusi pada terjadinya inflasi daerah, seperti cabai, bawang, dan tomat,” tambah sosok yang akrap disapa Mas Pj ini.
Dari berbagai KWT yang ada di masing-masing kelurahan, salah satunya adalah KWT Teras Hijau di Keluruahan Pulorejo. Memanfaatkan lahan “cawisan” –lahan kosong milik kelurahan yang tidak terlalu besar, sebanyak 15 ibu-ibu anggota KWT tersebut, aktif melakukan kegiatan bercocok tanam beragam jenis sayuran. Seperti cabai, tomat, kenikir, terong, pakcoy, dan lain-lain.
Beragam jenis tanaman tersebut ditanam dengan metode yang berbeda. Ada yang menggunakan polybag, langsung ke media tanah, dan dengan system hidroponik menggunakan air.
Selain itu, pemupukan juga dilakukan dengan bahan organic, berupa pupuk POC (Pupuk Organik Cair) dan kompos, dari sampah organic rumah tangga yang dihasilkan warga sekitar.
“Untuk kangkung kami ada 5 gundukan, yang masing-masing bisa menghasil 8-9 kg. Jadi selain untuk konsumsi anggota, juga dijual. Terus ada cabai. Itu biasanya juga ada anggota yang sehari-hari berjualan makanan. Itu belinya di kita,” tutur Sunarti, salah satu pengurus KWT.
Meski terkadang agak kesulitan untuk memasarkan hasil panennya, karena dinilai lebih mahal dibanding sayur non organic, Sunarti dan kelompoknya tidak lantas goyah. Mengingat, selaian memberikan opsi sayur yang lebih sehat bagi keluarga mereka, keberadaan kelompok tani yang dibentuk empat tahun lalu ini juga menambah kerukunan antar warga.
Selain dilakukan secara berkelompok, salah satu rumah tangga yang juga melakukan praktik urban farming secara mandiri adalah pasangan Deni dan Titin, warga Kelurahan Pulorejo. Mereka memanfaatkan system hidroponik tidak hanya untuk menanam sayuran, melainkan juga buah.
“Kami pilih hidroponik ini karena cocok untuk lahan rumah yang sempit dan cukup mudah. Selain itu juga ternyata bisa untuk berbagai jenis tanaman. Biasanya untuk sayur, ini yang terbaru kami coba untuk menanam buah melon dan bisa berbuah dengan baik,” ungkap Titin. (im)