IM.com – Setiap tahun persoalan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru atau PPDB di pelbagai daerah seakan tidak pernah habis.
Banyak orang tua yang merutuki sistem zonasi karena anaknya gagal masuk ke sekolah negeri idaman. Ada pula sebagian dari mereka merasa senang lantaran, sang anak lolos PPDB di tempat pendidikan pujaan.
Dalam buku panduan PPDB terdapat empat jalur peserta didik baru yang dapat ditempuh guna mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah yang akan dituju. Yakni jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan jalur pindah tugas orang tua.
Dari keempat jalur penerimaan peserta didik baru yang menjadi persoalan pelik sejak awal penerapannya adalah sistem jalur zonasi. Banyak masyarakat dari calon peserta didik yang kemudian menghalalkan segala cara dengan harta yang dipunya demi meloloskan putra dan putrinya di sekolah impiannya.
Praktik menghalalkan segala cara demi buah hati bisa sekolah di tempat impian, tiap tahun kerap dilakukan sebagian masyarakat di Kabupaten Jombang yang mempunyai “kuasa” harta maupun jaringan. Dengan menyulap domisili maupun titip nama di kartu keluarga yang dekat dengan sekolah favorit yang akan dituju oleh para peserta didik.
Berbagai dugaan kasus jual beli kursi atau titipan dari pejabat daerah setempat juga memiliki peran yang cukup besar dalam memainkan kuota penerimaan siswa baru.
Tindakan itu tidak terjadi secara cuma-cuma dan gratis. Melainkan, uang akan mengambil alih kendali permainan dan memonopoli segala bentuk realitas yang ada.
Yang menjadi korban, tentunya masyarakat berpenghasilan pas-pasan dan tidak mempunyai kuasa untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri impian.
Padahal harapan bisa bersekolah di SMP maupun SMA Negeri yang jaraknya berdekatan dengan rumah, menjadi hal yang sangat sulit diwujudkannya. Lantaran adanya persekongkolan jahat antara oknum dengan orang tua calon siswa.
Ini yang mungkin dirasakan delapan orang tua di Desa Kepatihan, Kabupaten Jombang. Anak-anak mereka gagal lolos PPDB sistem zonasi padahal tempat tinggal masih satu desa dengan sekolah negeri.
“SMPN 1 Jombang itu secara wilayah masuk Desa Kepatihan, tapi anak kami warga Desa Kepatihan tidak diterima di sana,” kata salah seorang warga, Wiwit Rahayu saat mendatangi Kantor Desa Kepatihan, Kabupaten Jombang, Senin (1/7/2024).
Para orang tua yang anaknya tak lolos PPDB SMP jalur zonasi itu, membawa berkas PPDB, dengan berbagai keluhan. Mayoritas, semuanya tidak diterima di SMPN 1 Jombang melalui jalur zonasi.
SMPN 1 Jombang adalah SMP negeri terdekat dari rumah warga Desa Kepatihan yang bisa dijangkau. Jika dipantau dari google maps, jarak kantor desa Kepatihan ke SMPN 1 Jombang sekitar 1,4 kilometer.
“Saat itu jarak anak saya 1,3 km, ada diurutan paling bawah, menjelang pengumuman malah berada digaris pagu maksimal, akhirnya saya cabut pendaftarannya dan saya mendaftar di SMPN 5 Jombang,” ujarnya.
Anehnya lagi, calon siswa yang jaraknya lebih dari 5 kilometer bisa diterima di sekolah tengah Kota Jombang. Dengan menyulap jarak rumah menjadi 400-500 meter dari sekolah SMPN 1 Jombang.
Sungguh sangat ironis petugas verifikator Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang menolak pendaftaran jalur prestasi calon siswa dari Desa Kepatihan. Padahal mereka memiliki sertifikat tahfidz juz 30 yang dikeluarkan Kemenag.
“Karena tidak disetujui oleh verifikator Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, akhirnya pendaftaran saya diubah ke jalur zonasi,” katanya.
Sulap menyulap jarak calon siswa dengan sekolah saat PPDB sistem zonasi, banyak dikeluhkan masyarakat. Ini terjadi karena tidak adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kejujuran.
Para orang tua dan wali murid merasa sekolah favorit secara serta merta akan memberikan dampak yang baik bagi pendidikan anak-anaknya. Pada faktanya, kualitas pendidikan tidak hanya ditunjang saat di sekolah saja. Semua bermula dari rumah dan lingkungan yang akan membentuk karakter anak.
Pemerintah Dinilai Tidak Hadir untuk Rakyat
Kepala Desa Kepatihan, Erwin Pribadi mengatakan meski sekolah negeri berada di wilayahnya. Namun dari 30 calon peserta didik hanya ada dua orang siswa yang diterima.
“Sisanya justru diterima di sekolah lain yang jaraknya lebih jauh dari rumah,” ungkapnya.
Erwin berharap agar keluhan orang tua siswa setiap momen PPDB, harus ditangani secara serius oleh pemerintah daerah.
Tidak semata-mata hanya mengadopsi dengan aturan yang dibuat kementerian. Tapi juga perlu mempertimbangkan kondisi di lapangan. (red/ima)