
“Orang miskin dilarang sakit.”
“Anak miskin jangan mimpi terlalu tinggi, nanti kesampluk montor muluk.”
IM.com – Dua adagium getir ini bukan sekadar sindiran melainkan jeritan sosial yang menggambarkan betapa menganga jurang kesenjangan di negeri ini. Pendidikan dan kesehatan, dua hak dasar manusia, kini terasa semakin mewah bagi 76% masyarakat Indonesia. Di tengah mahalnya biaya sekolah dan lesunya upaya negara memutus rantai kemiskinan, hadirnya Sekolah Rakyat bagaikan oase di tengah gurun.
Sekolah Rakyat (SR) bukan sekadar institusi pendidikan alternatif. Ia adalah pernyataan sikap bahwa negara masih punya denyut nadi moral di tengah badai ketimpangan. Ketika pengadilan penuh oleh terdakwa korupsi dan ruang kelas kosong karena anak-anak terpaksa putus sekolah maka Sekolah Rakyat hadir sebagai bentuk pembalikan arus: dari hasil kejahatan menuju keadilan sosial.
Program ini menarget anak-anak dari kelompok desil 1–3 — yaitu golongan termiskin berdasar Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Konsepnya asrama, bebas biaya, lengkap makan, pengasuhan, dan pendidikan karakter. Sekolah ini tidak hanya menyelamatkan masa depan namun juga memulihkan harkat kemanusiaan.
MOJOKERTO SIAP
Langkah konkret mulai tampak di Mojokerto. Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul meninjau langsung lokasi yang disiapkan oleh Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra. Sebuah area seluas 6 hektar disiapkan untuk menjadi pusat pendidikan rakyat di Desa Banyulegi, Kecamatan Dawarblandong. Dua bangunan sementara pun sudah dikondisikan untuk mengawali proses belajar-mengajar sembari menunggu proses pembangunan rampung.
Kabupaten Mojokerto menjadi bagian dari 53 daerah yang siap menyelenggarakan SR dari total 250 lebih daerah pengusul. Kesiapan ini menunjukkan bahwa program ini bukan angan-angan birokratis melainkan kebutuhan riil yang disambut antusias oleh pemerintah daerah.
ALIH FUNGSI
Anggaran selalu jadi alasan klasik untuk tidak membangun pendidikan rakyat. Padahal negeri ini punya sumber dana tak terduga yaitu aset hasil korupsi. Jika tanah koruptor bisa dialihfungsikan menjadi rumah rakyat mengapa uang hasil merampok uang negara tidak bisa diubah jadi sarana pendidikan?
Berdasar data KPK, triliunan rupiah disita tiap tahun dari kasus korupsi. Maka penggunaan dana ini untuk membangun Sekolah Rakyat adalah langkah etis, politis sekaligus strategis. Kita butuh lebih dari sekadar vonis pidana. Kita butuh transformasi kejahatan menjadi kebaikan yang produktif.
REVOLUSI SUNYI
Ironi terbesar negeri ini adalah ketika negara pelit berinvestasi pada pendidikan namun royal pada subsidi BBM, birokrasi gemuk dan proyek-proyek mercusuar. Padahal sebagaimana ditunjukkan Finlandia, India, Brasil, hingga Korea Selatan, pendidikan berkualitas gratis adalah kunci mobilitas sosial dan kemajuan ekonomi nasional.
India lewat Navodaya Vidyalaya Schools mendidik anak miskin berprestasi jadi calon intelektual unggulan. Brasil dengan Bolsa Família menurunkan kemiskinan ekstrem lewat pendidikan dan kesehatan terintegrasi.
Korea Selatan menjadikan sekolah vokasional sebagai pabrik SDM unggul. Finlandia meletakkan filosofi bahwa pendidikan gratis adalah investasi jangka panjang yang paling menguntungkan.
Mengapa kita tidak bisa melakukan hal serupa? Ataukah korupsi sudah terlalu membatu dalam struktur kebijakan kita?
Data tak pernah bohong. Angka putus sekolah di Indonesia adalah alarm keras yang sering diabaikan. Tahun ajaran 2023/2024 mencatat jenjang SD, 0,19%. SMP (0,24%) dan SMK: sebanyak 0,28%.
Penyebabnya? Ekonomi.
Pendidikan kita seperti peribahasa Jawa, “yen ora duwe duwit, aja kepingin pinter”. Kalau tak punya uang, jangan ingin pandai. Maka Sekolah Rakyat bukan bantuan sosial namun pemulihan hak yang dirampas sistem.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti memanjakan elite dan mulai serius menyiapkan generasi unggul dari akar rumput. Jika kita terus mengabaikan pendidikan untuk anak miskin, kita bukan hanya membiarkan kemiskinan diwariskan tetapi juga memberi ruang subur bagi koruptor baru di masa depan.
Sekolah Rakyat bukan hanya lembaga, ia adalah lahan ideologis tempat benih integritas dan nasionalisme ditanamkan. Dari sinilah, anak-anak miskin hari ini bisa tumbuh menjadi negarawan, ilmuwan, atau inovator di masa depan. Bukan sekadar menjadi buruh di negeri sendiri atau penonton di tanah yang mereka warisi.
Sekolah Rakyat membuka pintu bagi lahirnya revolusi sunyi, yaitu pendidikan untuk semua. Saat pemerintah mulai sadar bahwa membangun manusia jauh lebih penting daripada membangun mercusuar, di situlah kita mulai benar-benar membangun Indonesia Emas. (kim)