
IM.com – Di tengah gegap gempita menuju Society 5.0, Indonesia justru menyuguhkan tontonan yang membingungkan: pulsa lenyap, kuota menguap, konsumen hanya bisa mematung di depan notifikasi absurd bertuliskan, “Kuota Anda telah kedaluwarsa.”
Ini bukan sekadar ironi digital, ini tragedi ekonomi yang dikemas dengan narasi layanan publik. Lantas siapa dalangnya? Siapa lagi kalau bukan Telkomsel, anak perusahaan Telkom Indonesia yang nyaris tak punya saingan di pasar. Setiap tahun tampil di hadapan DPR dengan kalimat yang sudah hafal di luar kepala: “Kami sedang efisiensi, mohon maklum, capaian kami belum maksimal.”
KAPITALISME BUMN
Pertanyaan dasarnya sederhana dan logis: Mengapa sesuatu yang telah dibeli secara sah bisa hilang begitu saja? Apakah masyarakat benar-benar membeli kuota atau hanya menyewa hak seakan punya akses internet?
Bayangkan Anda membeli mie instan lalu diberi tenggat dua hari untuk memasaknya. Jika lewat, mie tersebut akan menghilang dari dapur Anda secara gaib, tanpa kompensasi, tanpa penjelasan, apa nggak konyol? Begitulah kebijakan kuota hangus dalam logika Telkomsel.
Tak peduli apakah Anda masih memiliki sisa 20 GB atau hanya sehelai sinyal, saat waktu habis maka hak Anda pun lenyap. Tak ada akumulasi, tak ada pengembalian dana, dan yang lebih mencengangkan, tak ada pertanggungjawaban.
Dengan lebih dari 137 juta pengguna internet aktif dengan asumsi sisa kuota yang tak terpakai per bulan sekitar 5 GB per orang maka potensi nilai yang hangus bisa mencapai triliunan rupiah. Layanan tak digunakan tapi uang tetap dipungut. Jika ini bukan bentuk pengambilan sepihak lalu apa?
Pada kuartal pertama 2025, Telkom mencatat pendapatan usaha Rp 36,6 triliun, laba usaha Rp 18,2 triliun, angka yang terkesan mengkilap. Tetapi laba bersihnya justru hanya Rp 15,9 triliun. Artinya, yang Rp 2,3 triliun menguap.
Pertanyaan pun muncul, kemana uang itu? Anggota DPR, Sadarestuwati, menyuarakan keganjilan tersebut. Sebuah BUMN raksasa yang mendominasi pasar tanpa kompetitor tapi keuntungan bersih yang tercatat
seolah-olah sedang bersaing keras. Aneh, dan patut dicurigai.
Lebih miris lagi selama lima tahun terakhir (2020–2024) kontribusi Telkom ke negara hanya sekitar Rp 20 triliun dalam bentuk pajak dan dividen. Angka ini tampak besar, tapi bila dibandingkan dengan potensi profit yang disedot dari kantong konsumen tiap bulan, jelas belum sepadan.
Sebagai BUMN strategis, Telkomsel seharusnya menjadi teladan dalam keberpihakan pada publik. Tapi realitanya? Telkomsel tampak lebih rakus daripada kapitalis yang sesungguhnya. Ketika negara mestinya hadir melindungi warganya, justru negara ikut menikmati sistem yang melukai konsumen.
Masyarakat diperlakukan sebagai sapi perah — dipaksa membayar penuh untuk layanan yang bisa dicabut sepihak, tanpa mekanisme pengembalian, tanpa etika niaga. Yang hangus bukan cuma kuota tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap BUMN-nya sendiri.
Jika Telkom dan Telkomsel ingin terus mendapat tempat di hati publik, mulailah dengan tiga hal: transparansi, akuntabilitas, dan etika bisnis. Buka laporan keuangan secara jujur. Jelaskan kemana “hilangnya” kuota itu. Akumulasikan sisa kuota sebagai bentuk penghormatan terhadap hak konsumen.
Sebab kalau kuota hangus dianggap keuntungan, ini perusahaan negara apa perampok rakyat? (kim)