Adeline Budiarto

“Melahirkan seorang seniman jauh lebih sulit dibanding mencetak seribu serdadu.” – Bung Karno

‎IM.com – Kalimat Bung Karno itu mestinya cukup jadi refleksi mendalam bagi institusi pendidikan tinggi seni di Indonesia. Tapi ironisnya, di banyak kampus kesenian hari ini – termasuk yang bergengsi seperti Institut Seni Surakarta – kutipan tersebut seolah dikubur oleh praktik pengajaran dan pengujian yang justru anti-seni dan anti-kebebasan ekspresi.

‎Salah satu kisah nyata yang patut menjadi cermin kegagalan sistemik ini datang dari Mojokerto, tepatnya dari seorang mahasiswa bernama Adeline Budiarjo, yang memilih jalur lukisan sebagai media kesaksiannya terhadap sejarah sosial-politik Indonesia.

‎”Biarpun dipersulit kampus, saya tetap membebaskan diri dalam melukis sesuai riset dan hati nurani,” tutur Adeline, putri semata wayang pasangan Agus (alm) dan Rini.

‎*DIBANTAI HABIS*

‎Adeline bukan sekadar pelukis muda. Ia mewakili Gen Z yang tidak hanya menguasai teknik tapi juga memiliki keberanian moral untuk berbicara.

Dalam ujian akhirnya di tahun 2021, Adeline mempresentasikan lukisan yang mengangkat isu polarisasi politik dan intoleransi agama pasca Pilpres 2019. Lukisan itu adalah cermin sosial yang berani, menggugat narasi dominan, mengungkap luka kolektif bangsa dan memprovokasi refleksi. Bukankah ini fungsi seni sejati?

‎Namun alih-alih diapresiasi sebagai bentuk keberanian konseptual dan kebebasan berekspresi, karyanya justru dibantai habis oleh dua dosen penguji.

Bahkan Adeline mendapat tekanan agar mengubah tema, diiringi ancaman tentang masa depannya. Yang lebih menyedihkan, tindakan dosen itu dilakukan tanpa argumen akademik yang berkelas, tetapi dibalut dengan sikap moralitas sempit dan kekuasaan semu.
‎Pertanyaannya, apakah mereka menguji atau menghakimi?

‎Fenomena seperti ini bukan kasus tunggal. Di banyak kampus seni rupa, ruang-ruang akademik yang seharusnya menjadi laboratorium ekspresi bebas dan inklusif, justru berubah menjadi ruang pengadilan satu arah.

‎Karya mahasiswa tidak lagi diuji berdasarkan argumen artistik dan relevansi wacana, tetapi diadili berdasarkan selera pribadi, nilai-nilai konservatif dosen atau bahkan politik identitas yang menjangkiti dunia akademik.

Adeline sedang memproses kekaryaannya berdasar riset pustaka atas fenomena sosial di studionya, Pacet, Mojokerto.

‎Mahasiswa tidak diberi panggung untuk tumbuh melainkan disuruh menyesuaikan diri demi kelulusan. Banyak yang akhirnya memilih mundur, patah semangat, bahkan kehilangan arah.

‎Dari 70 mahasiswa di awal kuliah hanya sekitar 40 yang berhasil sampai ujian akhir. Bukan karena mereka malas tapi karena mereka dicekik oleh sistem evaluasi yang tidak menghargai orisinalitas dan kegigihan.
‎Ini bukan hanya kegagalan institusi tapi kegagalan moral.

‎Jika kita rujuk kembali pada tujuan studi seni rupa murni, maka seharusnya: mahasiswa dibentuk untuk menciptakan karya orisinal, bukan didikte seperti robot pabrik.

‎Pemahaman konseptual dan sejarah seni menjadi dasar utama, bukan dogma pribadi dosen. Lingkungan akademik seharusnya menjadi ruang pembebasan, bukan kekangan birokratis yang menyamar sebagai kebijakan akademik.

‎Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak dosen penguji tidak memiliki portofolio kekaryaan yang relevan tapi tampil sok superior dan menuntut mahasiswa agar patuh pada standar selera mereka sendiri, yang kadang tidak berkembang sejak dekade 90-an.

‎Jika dosennya tidak pernah menggelar pameran tunggal, tidak pernah masuk ruang wacana seni nasional, dan tidak pernah berdialog dengan masyarakat seni kontemporer lalu dengan dasar apa mereka mengukur masa depan seorang seniman muda? (kim)

346

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini