
IM.com – Di tangan sebagian orang, layangan mungkin hanya sekadar permainan masa kecil. Namun tidak demikian bagi Fajar Setiawan (23) dan Riyadi alias Bang Sarip (44). Bagi dua warga Mojokerto ini, layangan adalah kanvas raksasa tempat mereka mengekspresikan kreativitas, sekaligus menjadi ladang penghidupan bernilai jutaan rupiah.
Fajar Setiawan, pemuda dari Dusun Kedawang, Desa Karang Kedawang, Kecamatan Sooko, mulai merakit mimpi sejak 2020 lewat sehelai kain dan rangka fiber. Layangan kreasinya bukan ukuran biasa, panjangnya bisa mencapai 100 meter. Prosesnya detail. Kain dipotong, dijahit lalu diberi kerangka fiber yang kuat dan lentur. Harganya? Bisa tembus Rp 7 juta per buah, tergantung ukuran dan motif.
“Yang kecil sekitar 30 meter, yang sedang 50 sampai 60 meter dan yang besar bisa sampai 100 meter,” ujar Fajar bangga.
Layangan buatannya pun tak hanya menghiasi langit Mojokerto. Ia kerap diundang mengikuti festival layang-layang di berbagai kota di Jawa Timur. Bentangan karyanya di udara seakan mewakili ketekunan dan imajinasi pemuda desa yang tak mau sekadar menjadi penonton zaman.
PABRIK MINI
Lain Fajar lain pula Riyadi, perajin layangan lipat pantai yang bermukim di Perum Abadi Megah Regency, Desa Mlirip, Jetis. Bersama istri dan anak keduanya, ia menyulap ruang rumahnya menjadi bengkel produksi sejak 2018.
Setiap musim kemarau, pesanan mengalir deras dari berbagai penjuru daerah, dari Sumatra hingga Papua. Dalam sehari, mereka bisa memproduksi 50 layangan dan dalam seminggu bisa menembus ratusan.
“Pernah dapat order 1.000 layangan per minggu. Biasanya dari daerah wisata pantai,” ujar Riyadi.
Menggunakan bambu petung dan kain peles, Riyadi memproduksi layangan dengan motif kekinian seperti bentuk Transformers dan burung hantu. Harganya terjangkau — Rp 8.500 hingga Rp 55 ribu per buah — namun nilai tradisi dan kegigihannya tak ternilai.
SENI TUA
Layang-layang bukan barang baru dalam peradaban. Di Tiongkok, benda ini telah dikenal sejak 2.500 SM sebagai alat militer dan sarana ritual. Di Indonesia, jejaknya bahkan lebih tua di Kaghati Kolope dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, diperkirakan sudah beterbangan sejak 4.000 tahun silam, terbuat dari daun umbi gadung.
Kini, fungsi layangan telah bergeser, dari alat perang menjadi permainan dan karya seni. Namun nilai-nilai yang menyertainya tetap kuat, yakni menjaga keseimbangan, kejelian, kerja sama dan koneksi dengan alam.
Di banyak daerah, layangan masih menjadi bagian dari ritual adat. Di Bali, misalnya, layangan dipercaya mampu membawa doa ke langit agar panen melimpah. Sementara festival-festival layang-layang yang rutin digelar di berbagai daerah menjadi ruang bagi tradisi dan kreativitas untuk saling menghidupi.
Fajar dan Riyadi bukan sekadar perajin. Mereka adalah penjaga warisan yang menyulap angin menjadi peluang, dan benang layang-layang menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. Di langit Mojokerto, tradisi itu terus menari. Tak sekadar untuk dikenang tapi untuk terus dijalani. (Ima/kim)