
IM.com – Di tengah perubahan zaman dan derasnya arus digitalisasi, pelukis muda asal Mojokerto, Adeline Budiarto (26), tampil dengan gagasan segar tentang praktik berkesenian.
Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Solo ini memilih memaknai seni rupa bukan sekadar ekspresi visual melainkan sebagai ideologi yang harus dijaga relevansinya.
Sebagai generasi Z, Adeline mengaku kerap menemui pertanyaan klise dari generasi sebelumnya, seperti “kapan pameran?”. Ia menilai, pertanyaan semacam itu mencerminkan belum siapnya sebagian kalangan menerima transformasi dunia seni di era digital.
Menurutnya, pameran konvensional kini telah bergeser maknanya, seiring dengan berkembangnya platform seperti Instagram, TikTok, YouTube dan media sosial lainnya.
“Pameran tidak selalu harus dilakukan secara fisik. Pameran virtual justru bisa menjadi solusi yang efektif dan murah untuk memperkenalkan karya ke publik yang lebih luas,” ungkap Adeline.
Ia menambahkan, pameran konvensional membutuhkan biaya besar. Dari beaya kanvas, cat, pigura, hingga sewa lokasi dan promosi, seluruh prosesnya memerlukan perencanaan matang dengan dana besar. Karena itu, Adeline mengaku masih menunggu momentum yang tepat untuk menggelar pameran fisik.
Gemblengan ISI Solo angkatan 2017–2021 ini menyebut masa kuliah sebagai puncak produktivitas seninya. Namun saat ini, proses berkaryanya lebih lambat karena harus melalui riset sosial dan pustaka terlebih dahulu sebelum mulai menyusun sketsa.
“Saya harus menyiapkan tema, membaca fenomena sosial lalu memadukannya dengan literatur sebelum mulai melukis,” jelas Adeline yang kini menetap di kawasan Pandan Arum, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.
Bakat seni Adeline sudah terlihat sejak usia enam tahun. Setelah sang ayah meninggal dunia saat ia berumur sembilan tahun, ibunya kemudian mendorong Adeline untuk serius menekuni dunia seni.
Ia lalu mengikuti kelas menggambar yang diasuh oleh pelukis Mojosari, Nanang Warhol. Setahun kemudian, Adeline turut serta dalam Art-Jog 2009, salah satu perhelatan seni rupa prestisius di Indonesia.
Sejak itu, gairahnya di dunia seni terus tumbuh. Ia memilih pendekatan seni figuratif dengan eksplorasi tubuh manusia sebagai objek utama. Lukisan-lukisannya berukuran besar, rata-rata 3×2 meter atau 2,5×2 meter, dan kerap mengangkat tema sosial.
Adeline menggunakan literatur seni klasik sebagai panduan utama dalam berkarya. Buku-buku seni dari masa Renaisans terutama yang mengupas anatomi manusia dan obyek nude menjadi referensinya. Menurutnya, tubuh manusia adalah simbol keberanian dan kejujuran dalam menyuarakan gagasan.
Selain berkarya, Adeline juga membuka kelas privat menggambar untuk anak-anak dan menjalankan usaha persewaan rumah. Meski begitu, ia membatasi jumlah murid agar tidak mengganggu ritmenya berkarya.
“Kesenian bagi saya adalah ideologi yang harus dirawat agar tidak mati dalam keramaian zaman. Saya batasi murid privat maksimal enam orang, agar saya tetap bisa menjaga kualitas proses berkesenian,” pungkasnya.
Dengan gagasannya yang progresif dan kedalaman proses berkarya, Adeline Budiarto menunjukkan bahwa generasi muda tak hanya mampu mengikuti zaman, tapi juga menciptakan tafsir baru dalam seni yang lebih relevan dan bernilai. (kim)