IM.com – Di sebuah sudut tenang Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, berdiri sebuah gapura bata merah yang seperti tak pernah lelah menunggu. Namanya Wringin Lawang yang berarti “Pintu Beringin” sebuah nama yang mengundang rasa ingin tahu dan sejenak mengajak kita berhenti, menengok ke belakang.
Gapura ini bukan sekadar tumpukan bata tua. Ia adalah lorong waktu, yang mengantar pelancong dan peziarah sejarah menapaki jejak peradaban Majapahit, kerajaan besar yang pernah mewarnai Asia Tenggara pada abad ke-14.
Berjalan mendekatinya, kita disambut oleh bangunan menjulang setinggi lebih dari 15 meter. Arsitektur simetrisnya tampak anggun, seolah menyimpan bisik-bisik kisah yang hanya terdengar oleh mereka yang bersedia mendengarkan.
Wringin Lawang pernah mengalami pemugaran pada awal 1990-an, untuk memperbaiki bagian atas yang sempat rusak. Kini, dengan panjang 13 meter dan lebar hampir 12 meter, ia berdiri anggun sebagai gapura agung berjenis candi bentar ciri khas bangunan penanda wilayah penting di masa Majapahit.
Konon, gerbang ini dipercaya sebagai akses menuju rumah seorang tokoh penting Majapahit, bahkan dikaitkan dengan Mahapatih Gajah Mada. Meski bukti arkeologisnya belum pasti, cerita-cerita semacam itu menjadi bagian dari daya pikat Wringin Lawang—antara sejarah dan legenda yang saling bersahutan.
Yang membuatnya istimewa bukan hanya bentuk atau usia. Tapi juga teknik penyusunannya. Bata merah khas Majapahit disusun tanpa semen, namun tetap kokoh menyatu selama lebih dari enam abad. Sebuah mahakarya teknik bangunan yang belum sepenuhnya terpecahkan hingga kini.
Bagi sebagian orang, tempat ini adalah destinasi sejarah. Bagi yang lain, ia adalah ruang kontemplasi. Duduk di bawah bayangannya saat sore tiba, angin pelan membawa kita hanyut dalam bayangan: bagaimana para pejabat kerajaan dulu berjalan melewatinya dengan busana kebesaran, diiringi haru atau harapan?
Wringin Lawang tak banyak bicara. Tapi keberadaannya adalah pengingat lembut bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Ia tetap ada, dalam bata-bata yang diam, dalam jejak yang menunggu untuk ditemukan kembali. (ima/sip)