Ilustrasi
Ilustrasi pelecehan seksual

IM.com – Seorang perempuan berinisial S (25), melangkahkan kaki ke Balai Desa di wilayah Kecamatan Mojoagung. Tujuannya sederhana, mengurus surat izin kerja atas nama adik iparnya yang sedang berada di luar kota.

Namun siapa sangka, kunjungannya yang hanya berniat administratif itu berakhir menjadi pengalaman traumatis yang membekas di benaknya hingga hari ini.

“Sabtu (2/8) sekitar pukul 11.00 WIB kemarin itu kan saya buat surat libur kerja untuk adik suami saya ke balai desa karena adik sedang berada di luar kota, di sana ada J,” tutur S saat dimintai keterangan, Rabu (6/8/2025).

Di balai desa, S bertemu langsung dengan Kepala Desa berinisial J. Kepada S, pria yang semestinya menjadi figur teladan masyarakat itu menyampaikan bahwa hari itu seharusnya libur kerja.

“J sebelumnya menyampaikan kalau hari itu libur kerja, tapi dia menawarkan untuk membuatkan surat izin tersebut,” lanjut S mengenang.

Ia kemudian menunggu proses pembuatan surat di ruang pelayanan. Waktu beranjak ke siang, hingga azan dhuhur berkumandang. Saat warga lain sudah selesai dan meninggalkan ruangan, hanya S dan J yang tersisa.

Saat itulah, momen tak terduga terjadi. “J tiba-tiba merangkul pundak kanan dan memijat bahu saya sambil berkata, ‘penak rek lek duwe bojo sepantaran, penak rangkulane’,” ungkap S saat menirukan perkataan J.

Perkataannya bisa jadi terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi gesturnya, bagi S, adalah bentuk pelanggaran yang tidak bisa diterima.

S spontan menepis perlakuan tersebut. Namun, bukannya mundur, J justru disebut semakin berani.

“Dia merangkul erat, tangan kanannya meremas payudara saya dua kali, dan berkata, ‘bayar Rp1 juta, penak-penak lek nduwe lurah koyok aku’,” kisah S dengan suara tertahan.

Terpukul dan geram, S mencoba menegur sang kades dengan kata-kata tegas, “Jangan ngawur, Pak.”

Kata-kata itu tampaknya menyadarkan J sejenak. Ia disebut langsung terkejut dan meminta maaf. Namun luka batin telah terlanjur membekas. S memilih segera meninggalkan ruangan.

“Dari situ saya lari keluar sampai bingung campur takut,” ucapnya lirih.

Pengakuan ini membuka tabir tentang bagaimana ruang publik yang semestinya aman justru menjadi tempat pelecehan, bahkan dilakukan oleh figur otoritas.

Di sisi lain, Kepala Desa di wilayah Kecamatan Mojoagung, J, tidak menampik kejadian tersebut. Dihubungi secara terpisah, ia menyampaikan permintaan maaf dan menyebut tindakannya sebagai “guyonan yang keterlaluan”.

“Saya akui khilaf. Dalam surat pernyataan juga sudah saya sampaikan. Saat itu saya memang memeluk S, tapi itu hanya guyon. Saya sadar itu salah,” kata J kades di Kecamatan Mojoagung yang berbatasan dengan wilayah Wonosalam.

Meski begitu, S sudah melaporkan J kepala pihak berwajib, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Jombang Ipda Satria Ramadhan membenarkan adanya laporan tersebut.

”Laporan sudah kami terima. Tindak lanjutnya, kami akan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan,” kata Ipda Satria Ramadhan. (ima/sip)

8

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini