IM.com – Kota Pahlawan baru saja melewati empat hari penuh ketegangan di ujung bulan Agustus. Gelombang demonstrasi yang menjalar dari Jakarta menghempas Surabaya, meninggalkan jejak kerusuhan, perusakan, hingga pembakaran fasilitas umum. Namun, memasuki September, denyut kota mulai kembali melandai, meski bayang-bayang kekerasan belum sepenuhnya pudar.
Pemerintah Kota Surabaya mengambil langkah tegas, seluruh kegiatan seni di gedung-gedung milik pemkot diperintahkan berhenti. Pameran seni rupa ArstSubs 2025 di Balai Pemuda yang sedianya berakhir 7 September dipaksa tutup pada 31 Agustus.
Pameran lukisan di Galeri Merah Putih dan Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) bahkan hanya sempat menikmati satu hari pembukaan sebelum disegel. Pergelaran Teater Anak Bengkel Muda Surabaya digelar tanpa penonton.b Langkah ini ditempuh sebagai upaya antisipasi agar kerumunan massa seni tak berubah jadi titik rawan amuk.
Malam-Malam Mencekam
Surabaya menjadi panggung ketegangan. Dalam rentang 28–31 Agustus, situasi sosial berubah drastis. Demonstrasi awalnya berlangsung keras namun terkendali. Malam hari, keadaan justru meluncur ke arah brutal: perusakan, penjarahan, hingga pembakaran. Sebanyak 25 sepeda motor, 17 pos polisi, Gedung Negara Grahadi sisi barat, dan Kantor Polsek Tegalsari menjadi korban amuk massa.
“Meskipun melihat langsung, kami tak mampu mencegah. Demi keselamatan, kami segera pulang untuk menjaga kampung,” tutur Solahudin, pengurus RW di Tegalsari.
Testimoni serupa datang dari warga Jambangan, yang menyebut penjagaan kampung dimulai sejak pukul 21.00 WIB. Di banyak sudut kota, pos kamling kembali ramai, seolah Surabaya mundur ke masa silam saat warga menjaga malam dengan ronda.
Diperintahkan Tegas
Kerusuhan yang merembet cepat membuat pemerintah pusat tak tinggal diam. Presiden Prabowo Subianto memberi lampu hijau kepada aparat untuk bertindak tegas.
Kepala Polri, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo bahkan menginstruksikan penggunaan peluru karet jika markas kepolisian diterobos.
Instruksi ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Amnesty International Indonesia dan Jaringan Gusdurian yang menilai langkah tersebut berlebihan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Namun, di lapangan, aparat TNI dan Polri tetap menggelar patroli skala besar sepanjang Minggu hingga Senin pagi. Kota dijaga ketat, sementara lampu di sekitar Grahadi dan Balai Kota sempat dipadamkan untuk meminimalisasi provokasi.
Di tengah situasi panas, suara kewarasan muncul dari berbagai penjuru. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, mengingatkan warga agar menahan diri. Sementara itu, tokoh agama lintas iman, akademisi, dan organisasi pemuda bersama-sama menyerukan agar masyarakat tidak terpancing provokasi.
Seruan damai ini tampaknya manjur. Rencana aksi massa di DPRD Surabaya pada Minggu malam batal digelar. Meski aparat bersiaga penuh di Jalan Yos Sudarso, massa urung datang.
Meski masih trauma, warga Surabaya, tetap memanfaatkan Minggu pagi untuk berolahraga di sekitar sisa puing Grahadi yang terbakar.
Ujian Belum Usai
Kini, Surabaya memang relatif tenang. Namun, ketenangan itu lebih menyerupai jeda ketimbang akhir. September baru dimulai, sementara bara persoalan yang memantik kemarahan rakyat belum sepenuhnya padam.
Presiden Prabowo sendiri meminta DPR membuka dialog dengan masyarakat dan mahasiswa demi meredakan ketegangan pasca-Agustus.
Di tingkat bawah, warga Surabaya tau betula menjaga kota bukan semata tugas aparat, melainkan kerja bersama. Dari pos ronda hingga doa di rumah ibadah, dari spanduk imbauan hingga orasi tokoh, semua menjadi pagar agar Surabaya tidak kembali terbakar.
Kota ini pernah dicatat sejarah sebagai medan pertempuran 10 November. Sekarang diuji lagi, bukan dengan meriam penjajah melainkan oleh amarah Arek Rek Surabaya sendiri. (kim)
Beranda Gaya Hidup Seni & Budaya Kegiatan Seni di Gedung Milik Pemkot Surabaya Diperintahkan Berhenti, Imbas Demo Anarkis
Kegiatan Seni di Gedung Milik Pemkot Surabaya Diperintahkan Berhenti, Imbas Demo Anarkis
12